Selasa, 09 Agustus 2016

SENJATA PAMUNGKAS PAJAK 2016


Tax amnesty tahun 2016 sudah resmi bergulir yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Orang-orang yang dulu tidak mau jujur menungkap hartanya, diharapkan mau melakukan deklarasi harta dan membawanya dari luar negeri ke dalam negeri. Tantangannya adalah membawa pemasukan pajak dari dana yang terparkir di luar negeri maupun yang tersembunyi di dalam negeri dengan membelai Wajib Pajak sekaligus mengancamnya. Membelai dengan tarif pajak yang rendah, kemudian mengancam dengan tarif tinggi dan sanksi bila tidak mau membuka data hartanya pada periode pengampunan ini.

Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia perlu nyali besar untuk menghadapi pemilik dana yang besar ini. Logikanya semakin kaya seseorang maka semakin kuat daya tawar terhadap pemerintah. Kemungkinan pertama, mereka bisa berhitung berapa harta yang akan diungkap kepada DJP, untuk meminimalkan pajaknya. Hal ini semacam testing the water, bagaimana reaksi DJP atas jumlah yang diungkap. Apakah DJP diam saja atau melakukan tindakan penelusuran lebih lanjut. Kemungkinan kedua, Wajib Pajak saling menunggu bagaimana rekan-rekan yang lain. Sebagai kelompok, Wajib Pajak cenderung mengikuti arus utama. Apabila banyak yang lapor, maka mereka lapor. Berlaku juga sebaliknya, bila dirasa banyak teman yang tidak menaati aturan Tax Amnesty ini, mereka akan ikut mengabaikannya juga. Kemungkinan yang ketiga adalah mengabaikan sama sekali aturan-aturan pajak ini. Kebanyakan mereka tidak percaya DJP mampu menyentuh harta mereka.

Tindakan Wajib Pajak yang meremehkan kemampuan DJP perlu dijawab oleh DJP dengan tindakan-tindakan nyata dalam penegakan hukum perpajakan. Wajib Pajak “kuat” yang punya harta menggunung ini perlu ditangani dengan “senjata yang kuat pula. Apa saja amunisi yang dimiliki oleh DJP untuk itu?

Menurut penulis, setidaknya ada 4 senjata ampuh yang kini sudah dipegang oleh DJP, yaitu keterbukaan informasi 2018, aturan perpajakan yang komprehensif, pegawai pajak, dan Menteri Keuangan yang baru.

‎Pertama, era keterbukaan. Pada tahun 2015 Presiden Joko Widodo telah memperingatkan adanya era keterbukaan dan tukar menukar informasi internasional. "Hati-hati nanti pada 2018, keterbukaan secara global akan dimulai, bapak ibu kalau ada simpanan uang di Swiss, Singapura, Hong Kong, nanti tidak bisa ditutupi lagi, jadi bagi yang simpanannya banyak hati-hati," kata Jokowi dalam acara penyerahan penghargaan keterbukaan informasi badan publik tahun 2015 di Istana Negara, jakarta.
Yang dimaksud keterbukaan oleh Presiden Jokowi adalah Automatic Exchange of Information (AEOI). AEOI adalah kesepakatan dalam forum global dalam transparansi pada OECD (Organization for Economic Cooperation & Development), organisasi untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan, yang diprakarsai oleh negara-negara G20, termasuk Indonesia. dalam situs resminya, OECD menyatakan AEOI ini dapat mengurangi kemungkinan penghindaran pajak. AEOI akan memberikan pertukaran informasi keuangan akun-akun rekening yang dimiliki oleh warga luar negeri yang terdaftar, dengan otoritas pajak di masing-masing negara asal pemilik rekening. Dengan begitu, DJP dapat mengetahui data harta Wajib Pajak di luar negeri, sekalipun mereka tidak mengikuti program Tax Amnesty.

Senjata kedua adalah peraturan hukum pajak yang komprehensif dari pelaporan, penetapan sampai penagihan pajak yang dapat dilakukan dengan gijzeling. Disamping itu pemerintah masih akan dilakukan revisi-revisi penyempurnaan terkait aturan-aturan tersebut. Tahun 2016 telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 11 tentang Pengampunan Pajak. Sementara undang-undang tentang ketentuan umum perpajakan masih dalam proses penggodokan draft revisinya. Perubahan dalam RUU KUP yang baru ini, bila dibandingkan RUU lama antara lain, akan adanya Badan Penerimaan Perpajakan sebagai transformasi dari DJP saat ini. Dengan menjadi badan tersendiri, wewenang otoritas pajak akan lebih besar dalam melakukan tindakan internal sendiri maupun tindakan perpajakan terhadap Wajib Pajak. Poin selanjutnya tentang kewajiban instansi terkait, isalnya bank, akuntan publik dan notaris, untuk memenuhi permintaan informasi otoritas pajak yang baru. Apabila ada aturan kerahasiaan yang mengikat, maka berdasarkan aturan RUU ini, kerahasiaan itu ditiadakan. Semakin luas lah kewenangan otoritas pajak dalam menggali potensi.

Aturan tentang keterbukaan informasi dan RUU KUP yang masih dibahas kemungkinan besar akan mempengaruhi peraturan-peraturan lain di luar DJP. Misalnya undang-undang perbankan dengan kerahasiaannya yang ketat, kemungkinan akan diubah menyesuaikan dua aturan tersebut. Walaupun tidak terbuka untuk umum, minimal ada keterbukaan dalam rangka pelaporan pajaknya. Sementar ini, DJP hanya bisa mengakses data nasabah perbankan melalui PPATK dan sebagian melalui mekanisme pemblokiran rekening Wajib Pajak dalam bank.

Kekuatan ketiga adalah sumber daya manusia yang dimiliki oleh DJP. Kementerian keuangan merupakan kementerian paling gemuk di Indonesia dengan jumlah pegawai lebih dari 60ribu pegawai. Dari 60ribu tersebut, sekitar setengah diantaranya ditugaskan pada DJP. Lebih dari 30ribu pegawai DJP ditempatkan pada kantor-kantor pelayanan pajak yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. SDM DJP merupakan manusia unggul terpilih dari sekian anak bangsa yang mendapat kesempatan seleksi menjadi pegawai DJP.  Setiap tahun terdapat regenerasi pegawai sekitar lima raut sampai seribu orang untuk menambah dan menggantikan pegawai yang pensiun atau resign. Besarnya SDM ini diharap mampu mengawal Tax Amnesty dan melanjutkan proses collecting pajak dengan aturan-aturan yang berlaku. Akan tetapi, SDM unggul ini juga menjadi masalah tersendiri bagi DJP, dimana banyak pegawai yang berprestasi justru lebih memilih berkarir di sektor s
wasta, karena ditawari gaji yang bisa mencapai lima kali lipat gaji di DJP.

Tambahan kekuatan keempat berasal dari Bu Sri Mulyani yang kembali memimpin Kementerian Keuangan. Sepserti kita ketahui bersama, Sri Mulyani lah yang meletakkan batu pertama reformasi birokrasi di tubuh Kementerian Keuangan, terutama dalam tubuh DJP. Ada banyak alasan pemanggilan Sri Mulyani kembali oleh Presiden Joko Widodo, tetapi yang palingpenting sekarang adalah mengamankan penerimaan pajak nasional dengan agenda besar Tax Amnesty 2016. Karena tax Amnesty ini merupakan pertaruhan pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan seluruh programnya.

Dengan empat senjata utama yang dimiliki DJP dan dengan dukungan politik dan ekonomi dari semua pihak, semoga DJP dapat menyukseskan program Tax Amnesty 2016. Akan tetapi yang paling penting adalah follow up dari tax amnesty yang telah dilakukan. Akan sia-sia pengorbanan DJP berupa potensi pajak yang terpotong pengampunan pajak ini apabila hanya sekedar tahun 2016.




AMNESTY KALA TRANSISI BAMBANG DAN SRI


Kementerian Keuangan sedang menjalankan gawe besar tahun ini. Tax amnesty yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang pengampunan Pajak, memerlukan perhatian sangat besar tidak hanya dari Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas Pajak di indonesia, tetapi seluruh kementerian Keuangan, karena program ini menjadi pertaruhan pemerintahan Joko Widodo dengan APBN yang lebih dari 2.000 trilun rupiah. Di saat hajat besar berjalan, pergantian pucuk pimpinan di kementerian tiba-tiba berubah. Bagaimana nasib program besar ini?

Hari Rabu, tanggal 27 Juli 2016, Presiden Joko Widodo kembali mengumumkan pergantian antar menteri di kabinet kerja periode 2014-2019. Ada 13 posisi jabatan yang mendapatkan nakhoda baru. Dari 13 jabatan tersebut 9 diantaranya diisi oleh nama-nama baru. Yang menarik adalah kembalinya Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan yaitu jabatan yang pernah diembannya pada masa Pemerintahan Presiden SBY. Kondisi kementerian keuangan sekarang tentu saja sudah sangat berbeda dengan kondisi dimana Sri Mulyani menjabat dulu. Pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat agresif dalam melakukan kebijakan ekonominya, baik bidang fiskal maupun moneter. Dari awal pemerintahan sampai sekarang, tidak kurang ada 12 kebijakan paket ekonomi yang dikeluarkan. Dan yang paling hit sekarang adalah tax amnesty yang digaungkan untuk membiayai APBN 2016. Tentunya program ini harus terlaksana dengan baik untuk mencapai target penerimaan pajak.

Pemilihan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan yang baru menggantikan Bambang Brodjonegoro menjadi sangat beralasan, dimana dibutuhkan sosok yang mampu mengendalikan reformasi birokrasi yang dimulainya dulu, setidaknya dua setengah tahun kedepan sampai akhir masa jabatan. Dengan latar belakang profesional akademik, Sri Mulyani mempunyai exposure pengetahuan yang cukup luas baik di dalam lingkup nasional maupun internasional dibuktikan dengan pernah menjabat sebagai Managing Director dan Chief Operating Officer di Bank Dunia. Dari segi politis, perseteruannya dengan Partai Golkar cenderung memudar, karena Partai berlambang pohon beringin itu telah menggabungkan diri dengan koalisi pro pemerintah, dan telah terjadi pergantian kepemimpinan di dalamnya. Seperti kita ketahui kedua belah pihak pernah berpolemik pada kasus Bank Century.

Tax Amnesty sebagai program unggulan 2016 mempunyai banyak tantangan yang harus diselesaikan, baik dari dalam negeri maupun dari dunia internasional. Ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan kebijakan ini dan melayangkan gugatan uji materi (judicial review) terhadap Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, karena dinilai adanya pelanggaran terhadap aturan lainnya. Tantangan dari negara lain berupa adu kuat tarik menarik kebijakan pajak. Negara tempat orang kaya Indonesia menimbun harta, juga mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan bagi pemilik modal.

Dalam RAPBNP 2016, pemerintah menaruh target penerimaan dari rencana kebijakan tax amnesty sekitar Rp165 triliun. Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah harus merepatriasi uang dengan jumlah yang sangat besar. Dengan perhitungan konservatif, misalnya rata-rata rasio pajaknya kita ambil 4% maka dana yang harus masuk lebih dari Rp4.000 triliun. Tugas yang sangat berat.

Pergantian Kepemimpinan

Dalam dunia swasta, pergantian pemimpin mempunyai dampak yang cuku signifikan terhadap pencapaian target perusahaan. Lopez-de-Silanes (1997) dalam Ayu Novi Trisnantari (2007) menemukan adanya hubungan positif antara pergantian CEO dengan market value BUMN yang diprivatisasi. Barberis et al. (1996) menyatakan bahwa kompetensi CEO merupakan faktor yang sangat penting dalam peningkatan profitabilitas perusahaan. Menurut penulis, walaupun kementerian sudah mempunyai SOP yang rigid, dan cenderung bisa berjalan tanpa komando, namun peran pemimpin, dalam hal ini menteri masih sangat nyata. Seorang menteri dapat mendrive jalannya kementerian, sehingga mempengaruhi laju kecepatan program yang sedang dijalankan. Pada saat kepemimpinan Bambang Brodjonegoro, Kementerian Keuangan memang berjalan dengan baik, namun ada kemungkinan Presiden mempunyai pandangan lain, dengan menggantinya dengan Sri Mulyani dan menempatkannya pada jabatan baru, yaitu Kepala Bappenas. Bagaimanapun juga menteri merupakan agent yang ditempatkan oleh presiden untuk membantunya mengurus bidang-bidang tertentu.

Pemimpin yang baik harus memiliki kemampuan intrapersonal dan interpersonal. Menurut Davis, faktor yang harus dipenuhi seorang pemimpin adalah kecerdasan, motivasi, dan Hubungan antar manusia. Kecerdasan Sri Mulyani tidak perlu diragukan dengan segudang prestasinya. Motivasi Sri Mulyani mungkin dapat tercermin dari post akun linkedin yang menyatakan, “it is an honor to serve the president and my fellow Indonesians by continuing the ongoing reform program. I will dedicate all my efforts to accelerating Indonesia’s development agenda with the goal of providing more and better service, particularly to the poor, and ensuring that all citizen will be able to participate in benefits of a thriving economy.” Pernyataan tersebut seharusnya tidak terlalu mengkhawatirkan untuk kelangsungan program tax amnesty yang telah dijalankan, apalagi tax amnesty juga pernah dilakukan pada masa kepemimpinannya dulu.

Yang menarik adalah efek interpersonal Sri Mulyani. Wall street journal pada Mei 2010 melaporkan penurunan IHSG sebesar 3,8% karena berita turunnya Sri Mulyani dari Menteri Keuangan. Demikian juga 27 Juli 2016, saat pengangkatannya kembali, dilaporkan IHSG naik 60,47 poin atau 1,16 persen ke level 5.284,87. Indeks saham LQ45 menguat 1,32 persen ke level 914,09. Seluruh indeks saham acuan menghijau. Tentu ini menambah percaya diri pemerintah untuk mempengaruhi pemilik modal untuk melakukan deklarasi harta maupun repatriasi dananya ke Indonesia. sebagai icon marketing keuangan Indonesia yang baru Sri Mulyani juga perlu melakukan promosi ke negara target tax amnesty, misalnya Singapura dan British Virgin Island, dan semoga tax amnesty kita laris.


LINDUNG NILAI DAN LINDUNG PAJAK


Salah satu tujuan transaksi derivatif adalah untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan atas transaksi yang dilakukan sebelumnya. Tujuan ini kerap disebut dengan lindung nilai, karena melindungi nilai transaksi awal. Misalnya, dengan harga cabai yang cenderung fluktuatif, petani tidak ingin mengalami kerugian atas biaya penanaman dan perawatan tanamannya. Petani melakukan kontrak berjangka atas hasil panen sebelum masa panen kepada pembeli dengan harga yang disepakati. Petani cabai mendapatkan kepastian harga jual hasil panennya, sedangkan pembeli berspekulasi dengan harga cabai masa depan. Apabila harga cabai naik dan melebihi harga kontrak, maka pembeli untung besar. Begitu pula sebaliknya, apabila harga turun pada saat panen, maka pembeli mungkin rugi atas transaksi tersebut.

Transaksi derivatif merupakan transaksi yang melibatkan secara tidak langsung produk yang diperjualbelikan atau yang disebut underlying product. Dari produk yang sama dapat terjadi transaksi yang bermacam macam. Misalnya saham yang diperjualbelikan terdapat transaksi opsi untuk  hak beli pada tingkat harga tertentu, selanjutnya hak opsi ini dapat diperjualbelikan lagi dengan transaksi lainnya. Transaksi-transaksi turunan inilah yang membuat derivatif menjadi instrumen yang efektif dalam perusahaan mengatur praktek manajemen labanya (Barton, 2001).

Di sisi lain, perkembangan manajemen laba memaksa para manajer untuk selalu dapat memenuhi ekspektasi stakeholder mereka. Dengan menampilkan kinerja perusahaan yang terbaik, manajer akan dihargai oleh para pemegang saham sehingga kompensasi yang akan diterima oleh manajer tersebut meningkat (Smith dan Stulz 1985; Gaver et al. 1995; Balsam 1998; Barton 2001; Pincus dan Rajgopal 2002 dalam Oktavia dan Dwi Martani 2013).

Manajemen laba merupakan upaya yang dilakukan pihak manajemen untuk melakukan intervensi dalam penyusunan laporan keuangan dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri, yaitu pihak perusahaan yang terkait. Manajemen laba dapat dilakukan melalui praktik perataan laba (income smoothing), taking a bath, dan income maximization (Scoot, 2000 dalam Aditama dan Purwaningsih, 2014). Manajemen laba yang berlebihan memungkinkan manajemen menggunakan cara yang agak kotor, misalnya tax avoidance sampai dengan tax evasion.

Transaksi derivatif sering menjadi masalah dalam perhitungan pajak perusahaan, misalanya bagaimana pengakuan keuntungan dan kerugian transaksi. Apakah kerugian transaksi dapat digunakan sebagai kompensasi penghasilan yang kena pajak tahun berikutnya? Dan lain-lain, karena senakin rumit transaksi derivatif, maka semakin sulit pendefinisian pengakuan transaksinya.

Sebenarnya, pada tahun 2009, Pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 17, tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa. Pemerintah menetapkan pajak final sebesar 2,5% dari margin awal transaksi. Namun, aturan ini mendapat tentangan keras dari Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia dan Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia, sehingga pemerintah menerbitkan PP Nomor 31 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa PP Nomor 17 tahun 2009 dicabut (Oktavia dan Martani, 2013). Dengan tidak adanya pajak atas penghasilan seperti ini apakah kerugian atas transaksi derivatif boleh dikompensasi? Kondisi seperti ini menyebabkan hilangnya potensi pajak yang seharusnya didapatkan oleh pemerintah.

Aturan yang dibuat pemerintah atas transaksi derivatif yang tidak jelas tersebut dapat digunakan oleh perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak (Darussalam dan Septriadi, 2009 dalam Oktavia dan Martani, 2013). Menurut Donohoe (2012), penggunaan derivatif keuangan sebagai alat penghindaran pajak didorong oleh ambiguitas dalam peraturan pajak atas transaksi derivatif. Ambiguitas inilah yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan sebagai celah untuk melakukan penghindaran pajak dengan menggunakan derivatif.

Semoga pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pajak dapat menyikapi dan membuat aturan yang lebih jelas yang menguntungkan negara tetapi tidak merugikan semua pihak.



EVOLUSI PREDATOR PAJAK


Hampir semua hal di dunia ini akan berubah menyesuaikan keadaan zaman. Penyesuaian ini salah satu tujuannya adalah memperbesar kontrol untuk memenuhi hasrat yang ingin dicapainya. Dalam dunia sepak bola, kontrol pemain terhadap bola tidak bisa dipisahkan dari desain sepatu pemain itu sendiri. Pada tahun 1994, perusahaan apparel Adidas mengeluarkan sepatu sepak bola seri perdana tipe predator. Seri sepatu ini cukup melegenda, karena dipakai oleh beberapa pemain top dunia, seperti Xavi, Steven Gerrard, Iker Cassillas, Robin van Persie sampai Mesut Ozil.

Kehebatan legenda sepatu seri predator ini tidak serta merta adanya, tetapi melalui pengembangan dan perubahan desain yang intensif. Salah satu keunggulan desain sepatu ini adalah dapat meningkatkan kontrol pemain terhadap bola pada saat dribbling, passing sampai shooting ke gawang lawan. Hal ini dapat dilihat dari stripping bagian depan dan samping sepatu yang berkontur khas. Setiap akan mengeluarkan seri predator terbaru, Adidas memberikan sepasang sepatu putih kepada pemain profesional untuk mendapat feedback desain yang diinginkannya. Cara ini efektif untuk meningkatkan performa kontrol sepatu juga performa pemain tersebut.

Dalam dunia perpajakan, fungsi kontrol penerimaan pajak tidak tergantung pada sepatu para pegawai. Line up pegawai yang memiliki fungsi kontrol atau pengawasan terhadap wajib pajak dan pembayaran pajaknya dipegang oleh Account Rrepresentative (AR). Dengan sistem perpajakana yang self assestment, wajib pajak dapat sesuka hati melaporkan SPT mereka dengan angka yang dikehendaki, atau bahkan tidak melaporkannya. Oleh karena itu, fungsi pengawasan oleh AR berperan sentral dalam memastikan terisinya pundi-pundi rupiah kas negara.

Pengawasan adalah salah satu bentuk enfocement yang dilakukan DJP sebagai otoritas pajak di Indonesia kepada Wajib Pajaknya. AR ada sejak adanya reformasi birokrasi di tubuh DJP. Sesuai  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 98/KMK.01/2006, AR mempunyai tugas melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan wajib pajak; bimbingan/himbauan dan konsultasi teknis perpajakan kepada wajib pajak; penyusunan profil wajib pajak; analisis kinerja wajib pajak, rekonsiliasi data wajib pajak dalam rangka intensifikasi; dan melakukan evaluasi hasil banding berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Dengan fungsi tersebut, AR akan mengedepankan legitimate power. Pelayanan kepada wajib pajak dapat menumbuhkan kepercayaan Wajib Pajak, sehingga Wajib Paak lebih kooperatif dalam menjalankan kewajibannya. Hofmann dkk (2014) menyatakan bahwa prediksi dampak dari penggunaan legitimate power ini akan meingkatkan kepatuhan Wajib Pajak terhadap aturan perpajakan. Dalam Mahendra, dkk (2014), Bradley dan Cassie Francys (1994) menyatakan kepatuhan wajib pajak merupakan faktor penting bagi peningkatan penerimaan pajak, maka perlu secara intensif dikaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, khususnya wajib pajak badan.

Berkembangnya ekonomi dan dunia usaha, mengharuskan DJP menata ulang line up-nya. Beban kerja AR akan menjadi sangat berat apabila masih menggunakan aturan yang telah berumur satu dasawarsa itu. Dalam PMK 206.2/PMK.01/2014, Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang menjadi seksi induk AR dibagi menjadi 2 fungsi yang berbeda, yaitu: Seksi Pengawasan dan Konsultasi I yang bertugas melakukan proses penyelesaian permohonan Wajib Pajak, usulan pembetulan ketetapan pajak, bimbingan dan konsultasi teknis perpajakan kepada Wajib Pajak, serta usulan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan; dan Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, Seksi Pengawasan dan Konsultasi III, serta Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV, masing-masing bertugas melakukan pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, penyusunan profil Wajib Pajak, analisis kinerja Wajib Pajak, rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka melakukan intensifikasi dan himbauan kepada Wajib Pajak.   Peraturan ini diperjelas dengan  PMK -79/PMK.01/2015 tentang Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak membuat pemisahan pada posisi Account Representative sehingga kini Account Representative  yang menjalankan fungsi pelayanan dan Konsultasi Wajib Pajak, yang berada di Seksi Waskon I; dan Account Representative yang menjalankan fungsi Pengawasan dan Penggalian Potensi Wajib Pajak, yang berada di Seksi Waskon II, Waskon III dan Waskon IV.

Line up seperti ini, AR pada Seksi Pengawasan dan Konsultasi I berperan deffensive, sedangkan  AR pada Seksi pengawasan dan konsultasi II dan seterusnya lebih dapat berperan sebagai predator yang offensive terhadap Wajib Pajak. DJP sebagai organisasi induk otoritas pajak nasional mengaharapkan skema yang telah dipasang dapat efektif menjaring penerimaan dari intensifikasi perpajakan.


Walaupun sepatu seri predator berjaya sejak tahun 1994, akhirnya Adidas mengakhiri siklus hidup sepatu seri ini pada tahun 2015. Adidas terus mengembangkan seri sepatu baru yang lebih relevan dalam perkembangan dunia persepakbolaan saat ini semacam Adidas Ace, Adidas X dan Adidas Messi. Mungkin AR sebagai Predator juga akan berubah ungsi pada masa berikutnya. Semoga DJP juga menempatkan strategi terbaik guna memaksimalkan penerimaan negara untuk negara kita tercinta.

Minggu, 07 Agustus 2016

KAMI DIDIDIK UNTUK MAU


Sebagai pegawai yang masih baru, kami masih sering mendapat pembekalan dari para senior dan pejabat yang duduk tinggi nun jauh disana. Salah satu pesan yang sering disampaikan adalah, walaupun sudah menjadi pegawai, kita harus berusaha mengembangkan diri dan belajar. Salah satu cara belajar adalah dengan mau menerima tantangan “pekerjaan” dari atasan. Apapun tantangannya. Dengan mencoba tantangan itu, kita akan belajar menjadi yang lebih baik dan mempunyai tambahan kompetensi dalam pekerjaan kita.

Pesan yang sangat mendalam bukan?

Ini adalah pembentukan pola pikir. Pesan diatas mengasumsikan semua tantangan dari atasan adalah benar, sehingga dalam kata lain, atasan selalu benar. Di sisi lain, semakin besar pekerjaan yang diberikan kepada kita, berarti atasan kita menaruh kepercayaan besar kepada kemampuan kita. Hmmmm.... dua pandangan yang berbeda.

Oke, satu pesan lagi yang sering diberikan, apabila kita tahu target kita tidak biasa, maka janganlah bekerja dengan biasa saja. Pesan ini masih sejalan dengan pesan yang pertama, yaitu tentang pengembangan diri dan belajar, mencoba sesuatu yang baru.

Learning by doing

Proses bekerja sangat berbeda dengan proses belajar. Ketika kita murni belajar, misalnya dalam sekolah, risiko yang kita hadapi adalah nilai jelek. Pengaruhnya tidak signifikan,  kita bisa belajar lagi. Orang lain tidak akan terlalu terganggu dengan hal ini. Bagaimana bila kita belajar dalam pekerjaan? Apabila kita seorang wirausaha, risiko kegagalan akan kita tanggung sendiri. Kita cenderung sangat berhati-hati dalam memperhitungkan pekerjaan kita. Apabila kita bekerja dalam suatu instansi, maka risiko kegagalan yang tanggung sungguh besar. Dampak risiko ini akan sangat luas pengaruhnya. Misalnya, atasan menetapkan target yang menjulang tinggi diatas kemampuan normal kita. Dengan bujukan dan tekanan dari atas, kita menerima saja dan harus mau “belajar” mengejar target ini.

Besarnya risiko yang kita bawa, seharusnya juga memberikan pelajaran bagi kita untuk tahu seberapa besar kemampuan yang kita miliki. Ketika posisi kita menentukan hajat hidup orang banyak, karena penilaian kinerja kita diukur secara kelompok, atau bahkan menjadi gantungan sebuah rezim pemerintahan, seharusnya kita tidak perlu memberikan harapan yang melangit, sehingga sulit bagi orang lain untuk mengait gantungan itu. Bumi juga tak kalah indah bila dilihat dari sudut pandang yang pas. hehehe. Banyak faktor yang tidak bisa kita kontrol selain apa yang kita pelajari dari kompetensi teoritis, apalagi kita yang masih dalam posisi newbie. 

Secara normal, kita akan berusaha menghindari  risiko, termasuk risiko tidak tercapainya target. Kalau kita mempunyai kuasa untuk menyusun target dengan sedikit slack, sehingga tidak sulit mencapainya. Akan tetapi kita akan memperoleh kepuasan maksimal jika mampu mencapai titik maksimal kinerja, target yang challenging but achievable.

Ketika kita sudah terlanjur berikrar target yang selangit itu, kita akan terselamatkan, jika good luck selalu bersama kita, dan atau, Bu menteri, #eh, atasan kita menyadari target yang ditetapkannya terlampau tinggi.

Selamat belajar wahai Pegawai Tugas Belajar...


Rabu, 15 Juni 2016

Pendidikan Fiskus dalam Penerimaan Pajak Nasional



Pendidikan menjadi isu penting sejak tahun 2003 dalam APBN. Terhitung sejak tahun 2008, anggaran pendidikan di Indonesia efektif mencapai 20% dari APBN. Hal itu mempengaruhi mandatory spending dalam setiap tahunnya, sehingga APBN semakin menggelembung. Pajak sebagai penyokong 70an persen dari APBN mau tidak mau terkena imbasnya. Untuk memenuhi target tersebut Direktorat Jenderal Pajak perlu menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni, terutama dalam hal enforcement.

Salah satu instrumen tax enforcement yang dimiliki DJP adalah fungsional pemeriksa pajak. Dalam SE-07/PJ.7/2000 ditetapkan kriteria pegawai DJP yang bisa menjadi fungsional pemeriksa pajak, diantaranya, (a) dididik dan dilatih sebagai pemeriksa pajak; (b) dididik dan dilatih mengenai pengetahuan perpajakan serta teknis perpajakan; dan (c) diseleksi baik mental (attitude) maupun teknis pemeriksaan pajak serta pengetahuan perpajakan. Dua poin menyebutkan keharusan pendidikan dan pelatihan teknis pemeriksaan dan perpajakan sebagai syarat formal menjadi seorang pemeriksa pajak. Sebenarnya, setiap pegawai DJP telah melakukan diklat dasar tentang perpajakan. Boleh jadi kita bertanya, mengapa perlu ada training lagi untuk pemeriksa pajak, dan pegawai lainnya? Ketika pendidikan nasional mendapat perhatian pemerintah sebesar 20% dalam APBN, bagaimana perhatian DJP untuk pendidikan pegawainya? Pada akhirnya pertanyaan bermuara pada apakah ada pengaruh diklat pegawai DJP terhadap penerimaan pajak nasional yang didapat?

Nilgun Serim dkk (2014) menyebutkan bahwa latar belakang pendidikan pegawai pajak berpengaruh pada hubungan antara pegawai dan wajib pajak sebagai pihak yang dilayani. Pemahaman tentang peraturan dan teknik menghadapi wajib pajak secara psikologi dapat diajarkan dalam training untuk pegawai, sehingga pelayanan yang diberikan menjadi lebih baik. Pegawai pajak harus selalu menjaga hubungan baik dengan semua stakeholder, termasuk pada saat melakukan enforcement. Suasana alami yang tercipta pada saat tax enforcement adalah suasana tegang, oleh akrena itu, pemeriksa pajak harus bisa memainkan kondisi psikologi dirinya sendiri dan wajib pajak yang diperiksa supaya tujuan pemeriksaan untuk mendapat informasi dapat tercapai.

Pemeriksaan pajak merupakan serangkaian kegiatan, mulai dari menghimpun dan mengolah data dan bukti yang bertujuan untuk menguji kepatuhan terhadap ketentuan peratuaran perpajakan yang berlaku. Proses analisis data wajib pajak memerlukan skill khusus dari pegawai pajak untuk mendapatkan keyakinan atas kepatuhan wajib pajak, karena secara rasional, wajib pajak akan berusaha menyembunyikan penghasilannya yang kena pajak. Kemampuan khusus ini diajarkan pada diklat teknis substantif pemeriksaan pajak sebelum pegawai diangkat menjadi fungsional pemeriksa pajak. Setelah diangkat menjadi fungsional pemeriksa, pegawai tersebut masih mendapat penyegaran dengan diklat khusus, misalnya tentang tindak pidana pencucian uang, transfer pricing dan lain-lain untuk mempertajam naluri auditnya.

Tidak ada angka khusus yang dapat merepresentasikan besarnya tambahan penerimaan pajak yang dihitung dari banyaknya pendidikan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Akan tetapi secara logis, apabila kemampuan pemeriksaan pajak semakin meningkat, maka potensi penerimaan dari pemeriksaan semakin besar, baik karena pengaruh psikologi wajib pajak yang terbuka maupun temuan oleh pemeriksa itu sendiri.


MEMBURU PAJAK BUNGA LUAR NEGERI


Hasil gambar untuk bunga utang luar negeri


Setiap pengusaha menginginkan hasil usaha atau profit yang maksimal. Jika memungkinkan perusahaan akan mengorbankan sedikit biaya untuk memaksimalkan profit, bahkan jika memungkinkan lagi, tanpa modal. Banyak skema yang memberikan alternatif meminimalkan modal investasi, diantaranya adalah dengan utang. Selain menjadi modal usaha, utang ini juga dapat berperan lain dalam memaksimalkan profit, yaitu peran instrumen penghindaran pajak. 

Isu penghindaran pajak masih marak di dunia investasi dan permodalan. Ketika memutuskan untuk melakukan investasi, lokasi merupakan aspek penting yang sangat diperhatikan. Perusahaan dapat memperhitungkan biaya transportasi bahan baku, biaya penjualan, sampai keadaan politik wilayah tersebut, termasuk tarif pajak yang berlaku. Bagi perusahaan multi nasional, yang mempunyai banyak pabrik di beberapa negara, dengan modal yang besar, mereka dapat menentukan negara mana tempat investasi mereka. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah setempat akan sangat mempengaruhi minat MNC untuk berinvestasi, terutama kebijakan perpajakannya. Apabila suatu negara mempunyai tarif pajak yang rendah dan peraturan perpajakan yang longgar, tentu akan lebih menarik bagi investor, sehingga dapat memaksimalkan profit yang akan diperoleh.

Salah satu modus memaksimalkan profit dari penghindaran pajak adalah melalui skema thin capitalization, dimana perusahaan meningkatkan jumlah pembiayaan utang berbunga di negara-negara yang mempunyai tarif pajak yang tinggi. Hal ini dapat mengurangi beban pajak perusahaan karena bunga yang dibayarkan dapat dibebankan sehingga mengurangi pendapatan kena pajak. Thin capitalization akan lebih efektif jika kreditur mempunyai hubungan istimewa dengan perusahaan, sehingga permainan pengaturan bunga akan lebih sempurna.

Dalam menghadapi kebijakan perusahaan yang menggunakan thin capitalization, pemerintah, melalui otoritas perpajakan akan menyesuaikan kebijakan perpajakannya. Dengan fakta bahwa negara yang mempunyai tarif pajak tinggi, perusahaan didalamnya cenderung mempunyai external debt yang tinggi (Buettner, et al, 2007), pemerintah dapat menurunkan tarif pajak badan yang berlaku. Strategi ini banyak dilakukan, misalnya di Indonesia, sehingga tren yang terjadi adalah menurunkan tarif pajak.

Cara lain yang dapat dilakukan  pemerintah adalah melalui pengetatan pembatasan Debt to Equity Ratio (DER). DER merupakan pembandingan utang perusahaan dengan aset yang dimilikinya. Rasio ini mencerminkan struktur permodalan yang dimiliki perusahaan. Semakin tinggi tarif pajak suatu negara, semakin tinggi pula DER perusahaan dalam negara tersebut (Gordon dan Lee, 2001). Hal ini mengindikasikan upaya penghindaran pajak yang lebih intensif oleh perusahaan. Dengan membatasi DER, pemindahan utang secara internasional dapat dikurangi (Andreas Haufler dan Marco Runkel, 2008). Di sisi lain, pengetatan aturan terhadap thin capitalization ini akan menambah cost of capital perusahaan, sehingga akan mengurangi investasi yang masuk (Buettner, et al, 2007) karena perusahaan akan lebih memilih meletakkan investasinya di negara yang aturannya tidak terlalu ketat.
Perbedaan aturan antar negara dapat diatasi apabila negara-negara tersebut mau berkoordinasi untuk membuat kesepakatan aturan yang mengikat thin capitalization ini. Misalnya Uni Eropa melalui Common Consolidated Corporate Tax Base (CCCTB) berusaha membatasi pengurangan atas pembayaran bunga dalam kelompok multinasional. Hal ini efektif mengurangi gerak transfer utang internasional, tetapi tidak dapat menafikan persaingan tarif antar negara.

Pada akhirnya, masing-masing negara merdeka, independen untuk menentukan kebijakan perpajakannya sendiri. Setiap negara mempunyai tujuan dengan kebijakan yang berbeda. Tidak bisa dipungkiri walaupun terdapat perjanjian pengetatan aturan yang mengikat thin capitalization, negara yang memiliki tarif pajak yang lebih tinggi akan dirugikan, karena tarif pajak efektif perusahaan multinasional yang mobile akan naik, sehingga mengurangi ketertarikan perusahaan untuk berinvestasi, dan pada kenyataannya negara berkembang atau negara kecil akan lebih memilih untuk menggunakan tarif pajak rendah dan aturan yang lebih toleran dalam mengatur thin capitalization supaya investasi tidak keluar dari negaranya.


Jumat, 13 Mei 2016

GOLDEN TRIANGLE

Di dalam sebuah perusahaan terdapat tiga pihak yang mempunyai kepentingan satu sama lain. Hubungan ketiga pihak ini dapat diibaratkan sebuah segitiga, dimana masing-masing phak mengisi satu sisi. Tiga sisi segitiga harus bersatu, untuk menciptakan bentuk segitiga yang sempurna. Yang menjadi kepentingan bersama sekaligus pemersatu adalah laporan keuangan perusahaan. Sebagai pihak yang mempunyai interest yang sama, hubungan ketiganya dapat dideskripsikan sebagai hubungan yang complicated. Tidak jelas siapa yang menjadi sisi paling panjang, juga tidak jelas siapa yang menjadi sisi bawah. Tiga pihak ini adalah manajemen, pemegang saham atau investor dan pemerintah.


Manajamen merupakan pihak yang mengelola jalannya perusahaan. Dalam melakukan pekerjaannya, manajemen mempunyai empat fungsi utama, yaitu planning, organizing, directing, dan controlling. Empat fungsi tersebut bertujuan untuk menjalankan aktivitas perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan yang umumnya bersifat moneter. Manajemen lah yang menyusun laporan aktivitas perusahaan yang berupa laporan keuangan.
Pemegang saham, atau investor, secara langsung maupun tidak langsung merupakan pemilik perusahaan, karena dengan uang mereka, perusahaan memperoleh modal yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Pemegang saham berkepentingan terhadap modal yang disetorkan pada perusahaan. Mereka berharap mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari investasi yang dikeluarkan. Sesuai teori agency, pemegang saham berposisi sebagai principals, sedangkan yang menjadi agen adalah manajemen.

Dimana posisi pemerintah? Dengan adanya peraturan perundang-undangan tentang pajak penghasilan, pemerintah menjadi salah satu dari minority interest selayaknya pemegang saham lainnya. Pemerintah berkepentingan dalam memperoleh pajak dari pendapatan yang diperoleh oleh perusahaan.

Semakin berkembangnya perusahaan, semakin berkembang pula variasi dan banyaknya pemegang saham perusahaan. Semua dari mereka tidak mungkin mengawasi manajemen dalam melakukan tugas menjalankan perusahaan termasuk menyusun laporan keuangan. Mereka lebih memilih menjadi free rider, karena pengawasan akan membutuhkan banyak biaya. Namun demikian , pemerintah, melalui otoritas perpajakan, melakukan fungsi pengawasan tersebut. Selain untuk kepentingan perpajakan, pengawasan ini secara tidak langsung memeberikan keuntungan pemegang saham lainnya, karena dapat terwakili untuk mengawasi, tetapi dapat merugikan juga, karena pendapatan perusahaan akan berukurang untuk membayar pajak.

Hubungan ketiga pihak ini sangat menarik perhatian para peneliti, terutama berkaitan dengan perpajakan. Pada tahun 2007, Mihir A. Desai, Alexander Dyck dan Luigi Zingales meneliti tentang hubungan pajak perusahaan dan pengelolaan perusahaan. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa otoritas pajak dan pemegang saham mempunyai tujuan untuk mengurangi penyelewengan manajemen. Berdasar hal tersebut, penetapan tarif pajak yang tinggi akan memperburuk tata kelola perusahaan, akan tetapi, peningkatan pemaksaan pajak dapat meningkatkan tata kelola perusahaan sehingga bagian yang diterima pemegang saham juga meningkat. Apabila dikaitkan dengan perubahan kebijakan pemerintah dalam menaikkan tarif pajak, maka perusahaan dengan tata kelola yang baik akan merespons lebih baik dibandingkan perusahaan yang tata kelolanya kurang baik.

Mihir A. Desai bersama Dhammika Dharmapala, pada tahun 2009 melakukan penelitian terhadap hubungan manajemen laba dan penghindaran pajak. Dalam penelitian ini, berdasar teori agency, manajemen mengusahakan peningkaran laba termasuk dengan manipulasi tidak semata-mata untuk kepentingan pemegang saham, tetapi juga untuk mereka sendiri, karena mereka akan mendapatkan insentif lebih besar sejalan besarnya laba. Dari segi perpajakan menurut penelitian ini, perlu perubahan aturan dengan satu pelaporan keuangan untuk otoritas pajak sekaligus otoritas pasar modal. Hal ini akan menurunkan biaya kepatuhan.

Selanjutnya, Michelle Hanlon, Jeffrey L. Hoopes dan Nemit Shroff pada tahun 2014, mengembangkan penelitian dalam hubungan antara pemaksaan pajak dengan kualitas laporan keuangan. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa pemaksaan pajak berhasil meningkatkan kualitas laporan keuangan. Dengan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, kepentingan pemegang saham juga terlindungi dari penyimpangan manajemen.


Pajak perusahaan, tata kelola perusahaan, manajemen laba, penghindaran pajak, pemaksaan pajak dan kualitas laporan keuangan merupakan hal yang sangat berpengaruh dan berkaitan dengan hubungan manajemen, pemegang saham dan pemerintah. Keterkaitan satu dengan yang lain bisa jadi semakin kompleks sejalan dengan perkembangan dunia bisnis dan peraturan perpajakan.

CSR YANG TIDAK IDEAL

Semua yang ada di masyarakat harus mengikuti aturan yang berlaku di masyarakat itu. Orang, atau yang diorangkan, misalnya organisasi dan perusahaan saling bergaul dalam dinamika pergaulan masyarakat. Sejalan dengan teori legitimasi, sebuah organisasi akan lebih legitimate menjadi bagian dari masyarakat apabila dia mampu memperhatikan dan mematuhi norma sosial di masyarakat tersebut.
Sebuah perusahaan bisnis, merupakan organisasi yang mengkhususkan diri di bidang ekonomi, meskipun begitu, perusahaan ini tetap menjadi bagian dari masyarakat. Selain tujuan keuntungan, perusahaan juga harus memperhatikan lingkungan sekitar, baik sosial maupun lingkungan hidup. John Elkington, pada tahun 1988 memperkenalkan konsep tripple bottom line, yang mendefinisikan peran perusahaan menjadi 3 fungsi. Yang pertama, profit untuk keberlangsungan hidup perusahaan sendiri, yang kedua, people, yaitu kesejahteraan masyarakat sekitar. Yang ketiga planet, yang merepresentasikan lingkungan hidup yang menjadi habitat banyak makhluk lain.

Konsep tripple bottom line ini masih relevan digunakan sampai saat ini, dan diaplikasikan dalam bentuk CSR, Corporate Social Responsibility. Uang yang digunakan untuk membiayai CSR mengurangi laba yang akan diperoleh perusahaan, sehingga berpotensi mengurangi pajak yang akan dibayarkan juga. Hal ini yang harus menjadi perhatian  kita sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia keuangan negara. Keadaan ideal yang diharapkan adalah semua perusahaan menjalankan kewajiban perpajakannya dengan jujur, sekaligus mengeluarkan CSR untuk kepentingan masyarakat. Pada kenyataannya, kondisi ideal bagaikan fatamorgana, selaras pameo Milton Friedman (1990) “the business of business is business”. Bagaimana jika perusahaan mempunyai program CSR yang bagus, tetapi pada saat yang sama melakukan perencanaan pajak yang agresif? Atau bagaimana bila perusahaan menjadi Wajib Pajak yang patuh, tetapi disisi lain mereka tidak menjalankan CSR-nya? Mana yang lebih baik?

Pada tahun 2006, terungkap kasus penghindaran pajak yang melibatkan PT Asian Agri Grup. Salah satu modus yang digunakan adalah dengan menjual prduk minyak sawit mentah (CPO) keluaran PT Asian Agri kepada perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga dibawah pasar, kemudian dijual lagi ke pembeli riil dengan harga tinggi, sehingga pajak dalam negeri menjadi tertekan. Masih dalam belutan kasus tersebut, pada tahun 2014, PT Asian Agri mendapatkan penghargaan gold dalam CSR Award. Dua hal yang tidak konsisten, perusahaan tidak mau membayar pajak, tapi bersedia mengeluarkan uang banyak untuk mendanai CSR. Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Luts Preuz (2010) yang mengindikasikan bahwa CSR yang dilakukan perusahaan merupakan sekedar pemanis untuk laporan perusahaan, atau bisa jadi menjadi indikasi modus lain penghindaran pajak seperti hasil penelitian Lanis & Richardson (2013) dan Luke Watson (2014).

Pajak dan CSR merupakan dua hal yang sama-sama diamanatkan oleh undang-undang. Undang-undang Perseroan Terbatas, sebagai dasar kewajiban CSR tidak secara eksplisit mengatur besaran CSR yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Pada pasal 74 UU PT ayat (1) berbunyi, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Pada ayat (2) berbunyi, “tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1), merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Hal ini sangat berbeda dengan undang-undang perpajakan yang sangat rinci mengatur besaran pajak yang harus dibayarkan. Misalnya PPN adalah 10% dengan perhitungan Pajak Masukan dikurangi Pajak Keluaran, dan pajak penghasilan badan yang berlaku saat ini adalah 25% dari penghasilan kena pajak. Semua pajak yang dibayarkan dapat dihitung berdasarkan tarif yang berlaku. Dalam hal ini pajak lebih unggul daripada CSR.

Perusahaan sebagai entitas keuangan menginginkan efisiensi dalam pengeluaran sekaligus efektivitas dalam memperoleh laba.  Membandingkan kombinasi fokus perusahaan dalam CSR dan perencanaan pajak yang agresif sesuai pertanyaan diatas, menurut saya lebih baik perusahaan patuh terhadap aturan perpajakan, walaupun tidak melakukan CSR secara massive. Alasan pertama, dilihat dari segi fungsinya, pajak dan CSR mempunyai fungsi yang agak mirip, yaitu menyediakan barang publik untuk masyarakat. Apabila perusahaan hanya membayar pajak yang besar, maka kemungkinan dana tersebut akan mengalir kepada masyarakat juga, walaupun secara tidak langsung menggunakan nama perusahaan sebagai entitas pemberi dana. Yang kedua kemungkinan penggunaan skema CSR sebagai modus penghindaran pajak. Yang ketiga, aturan hukum pajak lebih jelas dan terperinci mengenai besaran pajak yang harus dibayarkan. Meskipun demikian, kita masih berharap perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat memenuhi kondisi ideal, dimana mereka menjalankan atruan perpajakan dengan patuh dan jujur sekaligus mengeluarkan CSR untuk kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitar.

Jumat, 29 April 2016

TARIK ULUR PENDAPATAN PAJAK


Di dunia ini adakah yang berbaik hati membayar pajak melebihi yang seharusnya dia bayarkan? Hampir semua orang tidak suka membayar pajak, karena pajak bersifat memaksa, tetapi sang pembayar tidak mendapatkan manfaat secara langsung yang bisa dirasakan.

Pada kasus Enron, pada tahhun 2000, perusahaan mengakui laba sebesar $100 miliar, laba yang sangat besar, sehingga Enron termasuk jajaran perusahaan terbesar di Amerika Serikat. Apabila diasumsikan tarif pajak yang berlaku di Amerika pada saat itu sebesar 35% maka pajak yang harus dibayarkan adalah sebesar $35 miliar. Akan tetapi pada Oktber 2001 Enron mengakui adanya kerugian sebesar $618 juta ditambah manajemennya dijatuhi hukuman karena dituduh melakukan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Dari awal, Enron telah mengalami kesulitan dalam keuangan, tetapi dalam laporan keuangan selalu disajikan dalam nilai yang selalu laba besar. Laporan keuangan agresif yang dilakukan Enron ini bertujuan untuk mandapatkan suntikan modal dari investor maupun kreditor. Laba yang besar, likuiditas yang lancar, ROI yang ideal merupakan beberapa indikator kesehatan perusahaan yang ditampilkan dalam laporan keuangan.

Pada sisi yang lain, perusahaan yang menginginkan pembayaran pajak yang kecil berusaha mengecilkan laba dalam laporan perpajakannya. Laporan pajak yang agresif seperti ini mempunyai risiko laporan keuangan perusahaan yang dikeluarkan tidak maksimal, sehingga kinerja perusahaan dapat dinilai tidak kredibel oleh invesor maupun kreditor.

Trade off yang dihadapi manajemen pada saat memilih laporan keuangan atau laporan pajak, seperti yang disampaiakan Shackelford dan Shevlin (2001), ternyata tidak terbukti pada penelitian selanjutnya. Shackelford dan Shevlin merumuskan bahwa ketika laporan keuangan memeperoleh laba maksimal maka pajak yang dibayarkan juga maksimal, dan sebaliknya apabila ingin mengurangi pajak yang ibayarkan, maka performa laporan keuangan harus dikurangi. Frank et al (2009) menemukan bahwa terdapat kecenderungan bahwa manajamen perusahaan mampu melaporkan laba besar pada laporan keuangan, dan pada waktu yang sama, mereka melaporkan pajak perusahaan yang kecil.

Sebagai manusia, tim manajemen perusahaan juga ingin kinerjanya diakui bagus. Indikator kinerja manajemen salah satunya dinilai dari laporan keuangan dan laporan pajak perusahaan. Mereka berusaha mempercantik keduanya. Celah perbedaan prinsip akuntansi yang berlaku dengan aturan pajak yang diundangkan, mampu memberikan peluang bagi manajemen perusahaan untuk mengelola pendapatan menurut laporan keuangan lebih besar sedangkan pendapatan kena pajak lebih kecil pada periode pelaporan yang sama. Berdasarkan hasil penelitian Frank et al tersebut, aturan perpajakan masih mempunyai banyak loophole yang mungkin dimanfaatkan.

Loophole merupakan kondisi yang memungkinkan seseorang untuk menghindari kewajiban tanpa pengenaan sanksi penalti atau sanksi hukum. Loophole dalam perpajakan memungkinkan wajib pajak mendapatkan peluang penghematan pembayaran pajak, atau terhindar dari kewajiban perpajakan.tertentu atau terhindar dari pengenaan sanksi administratif perpajakan. Loophole ini ada yang sengaja diciptakan untuk tujuan memperbaiki pasar, misalnya tax amnesty, dan ada pula yang terjadi karena perbedaan penafsiran antara pembuat peraturan dan penggunanya.


Hal ini dapat dijadikan pelajaran bagi otoritas perpajakan untuk menyusun aturan-aturan perpajakan yang dapat menutup celah-celah penghindaran pajak, tetapi dalam waktu yang sama dapat menciptakan iklim ekonomi yang kondusif bagi pelakunya. 

Kamis, 14 April 2016

SIMALAKAMA ATAU HARMONI (PAJAK DALAM AKUNTANSI)

Ilmu menghitung uang telah berkembang sejak masa dimana ditemukan uang itu sendiri. Uang sebagai nilai tukar menjadi ukuran kekayaan seseorang atau organisasi. Perjalanan hitung menghitung ini berdampak pada  penilaian apakah si A termasuk orang kaya, apakah si B orang setengah kaya, atau si C menjadi miskin akibat uangnya habis? Kondisi masyarakat sangat bervariasi, oleh karena itu perlu adanya campur tangan pemerintah dalam menjaga perekonomian masyarakatnya, yaitu melalui pajak.




Dalam perkembangannya, ilmu pajak tidak terlepas dari ilmu menghitung uang, yang lebih dikenal dengan ilmu akuntansi. Dengan mengikuti perkembangan akuntansi, pajak berharap dapat memberikan penerimaan kepada negara sesuai dengan aturan yang disepakati. Para peneliti banyak melakukan riset tentang pajak yang dihubungkan dengan akuntansi. Bagaimana pengaruh pajak dalam pelaopran akuntansi wajib pajak banyak menarik para peneliti untuk mencari jawabannya.

Apabila si A mempunyai penghasilan Rp. 1 miliar dalam sebulan tentu saja harus membayar pajak yang berbeda dengan si C yang mempunyai penghasilan Rp. 1 juta dalam sebulan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh asas keadilan yang dimaksudkan supaya si C juga bisa mendapat penghidupan yang layak tiap harinya. Akan tetapi, si A juga berpikir, bagaimana supaya pajaknya bisa seminimal mungkin. Si A menghitung kembali penghasilannya dan mengaku bahwa dia hanya berpenghasilan  Rp. 500 juta sebulan. Nilai 500 juta lumayan untuk dapat memperoleh separoh dari perhitungan pajak yang seharusnya. 

Proses catat-mencatat ini menjadi sensitif ketika dibenturkan dengan perhitungan pajak. Sebuah perusahaan ingin dilihat sebagai perusahaan yang bonafide dengan laporan keuangan yang bagus. Laporan keuangan yang bagus akan mempengaruhi investor yang menanamkan modalnya, para kreditur untuk meminjamkan dananya, dan konsumen untuk membeli dari perusahaan yang sehat secara finansial. Di sisi lain, apabila kinerja keuangan bagus, laba besar, kemungkinan besar pajak akan semakin membengkak. Hal ini sejalan dengan penelitian Hanlon dan Heitzman (2010), sedikit banyak perbedaan perhitungan laba akuntansi dengan penghasilan kena pajak berimplikasi pada penyajian laporan keuangan. Seperti buah simalakama memang.  

Pemerintah berusaha mengakomodasi kepentingan swasta sebagai pembayar pajak dan pemerintah sendiri sebagai pengumpul pajak. Kedua kepentingan yang saling berbenturan dalam berbagai aspek, misalnya ketidakseimbangan penghasilan dalam masyarakat dan swasta menginginkan tarif pajak yang kecil dengan banyak perlakuan khusus. Akibat dari pajak pemerintah ini, swasta berusaha melakukan penyimpangan dalam memperlakukan perhitungan akuntansinya. Tax evasion yang dilakukan Wajib Pajak dengan merubah komponen-komponen laporan keuangan menjadi tidak sejalan dengan program pemerintah yang berusaha mengumpulkan pajak yang besar. Usaha penyembunyian laba atau melakukan mark up biaya yang dikeluarkan menajdi modus yang sering dilakukan oleh tax evader.

Maydew (2000) mengingatkan supaya penelitian pajak tidak hanya berfokus pada lingkup nasional saja, karena dunia global telah menjadikan tax evasion maupun tax avoidance semakin beragam sampai ke luar negeri. Terungkapnya skandal Panama Paper menjadi bukti yang sahih bahwa kaum elit dunia tidak jujur dengan laporan keuangannya. Mereka berusaha menyembunyikan harta mereka di negara yang temasuk tax heaven.

Diakui atau tidak, pajak mempunyai pengaruh terhadap laporan keuangan wajib pajak. Akan tetapi apabila laporan akuntansi disajikan secara wajar, tidak ada sesuatu yang sengaja disembunyikan, tentu akan terjadi harmoni dengan perhitungan pajak.

Rabu, 06 April 2016

BERDAMAI DENGAN WAJIB PAJAK


Pak Ken Dwijugeasteadi, Direktur Jenderal Pajak, malam tadi (selasa, 5 April 2016), di Metro TV, ketika ditanya tentang upaya memata-matai orang yang berbelanja melalui kartu kredit, menjawab dengan santai, bahwa beliau mengajak semua orang untuk bergotong royong dalam membangun negeri ini,  dan menjelaskan, sesuai undang-undang data kartu kredit bukan merupakan data rahasia perbankan. Jadi DJP sah untuk mempergunakan data tersebut. Sebagai orang nomor satu di Direktorat jenderal Pajak, Pak Ken harus mengetahui bagaimana cara memperlakukan stakeholder pajak. Stakeholder yang terlibat banyak sekali, mulai pegawai di lingkungan DJP, Sistem yang mempunyai kuasa politik saat ini, sampai wajib pajak yang menjadi sumber penerimaan DJP. Wajib pajak merupakan faktor terpenting dalam siklus ini.

Beberapa hari terakhir makin ramai pemberitaan mengenai Panama Paper yang melibatkan “Wajib Pajak” kelas kakap dari berbagai belahan dunia. Rilis yang dikeluarkan oleh firma hukum Mossack  Fonseca di Panama itu menampilkan 2.691 nama individu dan perusahaan ketika diketik kata kunci “Indonesia”.Sangat mencengangkan melihat data tersebut. Setiap hari DJP berusaha mendapatkan data wajib pajak, ternyata wajib pajak banyak melakukan penghindaran pajak ke luar negeri. Untuk menghadapi Wajib Pajak seperti ini, bagaimana DJP harus menempatkan diri? Apakah DJP harus memperlakukan Wajib Pajak sebagai penjahat yang sedang buron, atau sebagai pelanggan dagangan DJP?

DJP mempunyai kewenangan memaksa di bawah undang-undang. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Allingham dan Sandmo (1972), coersive power yang dimiliki DJP dapat berupa pemeriksaan pajak dan sanksi apabila ditemukan bukti pelanggaran terhadap aturan perpajakan. Apabila DJP menonjolkan tindakan pemaksaan dengan peningkatan frekuensi pemeriksaan dan pengenaan sanksi, berdasarkan penelitian Hofmann dkk (2014), kemungkinan hasil yang diperoleh adalah kepatuhan meningkat, tetapi membawa iklim perlawanan terhadap DJP sebagai otoritas perpajakan di Indonesia. situasi seperti itu bisa menjadi bumerang yang sewaktu-waktu dapat kembali menyerang kita ketika lengah. 

Selain itu, DJP juga mempunyai legitimate power yang berasaskan  transparansi dan keadilan dalam proses pemungutan pajak (Alm, 2010). Hofmann dkk (2014) menyatakan bahwa prediksi dampak dari penggunaan legitimate power ini adalah meingkatkan kepatuhan terhadap aturan, tanpa mengganggu iklim pelayanan terhadap Wajib Pajak, sehingga meningkatkan kepercayaan terhadap otoritas pengelola pajak.

Dalam buku Marketing is Bullshit, Ippho Santosa menjabarkan teknik marketingnya dalam delapan “bullshit”, yaitu, hoki itu kebetulan; terobosan adalah pemborosan; terobosan bukan keharusan; diferensia sukar dikreasi; kegigihan adalah segalanya; perlu metode untuk menghasilkan ide; segala sesuatu serba terbatas; dan laba adalah raja. Bullshit yang pertama merupakan hasil hubungan manusia dengan Tuhannya, dalam hal ini, pegawai DJP dengan kepercayaan masing-masing. Bullshit yang kedelapan merupakan tujuan akhir dari usaha marketing, kalau dalam pajak berarti penerimaan yang masuk untuk memenuhi target. Akan tetapi untuk sampai di bullshit delapan, ada bullshit kedua sampai ketujuh yang perlu diperhatikan. DJP mempunyai sumber daya yang terbatas, sehingga terobosan, diferensiasi dan ide baru mutlak diperlukan dalam usaha pengumpulan pajak negara. 

DJP perlu melakukan terobosan dengan memperlakukan Wajib Pajak sebagai pelanggan yang harus dilayani sepenuh hati. Untuk hal ini penulis setuju dengan langkah DJP yang akan memberikan   insentive pajak untuk modal yang akan masuk ke Indonesia, karena dalam jangka panjang akan menambah basis perpajakan di Indonesia. Kita layani Wajib Pajak, sehingga mereka nyaman dengan iklim ekonomi Indonesia. Ambil telurnya, jangan sembelih angsanya, sisakan telur untuk menetas menjadi angsa-angsa baru.


Minggu, 03 April 2016

MERCUSUAR PAJAK 2016




Tidak bisa dipungkiri, bahwa penghindaran pajak dan ketidakpatuhan Wajib Pajak terhadap Peraturan perpajakan masih menjadi pembahasan yang menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat luas. Pemerintah berusaha melakukan usaha pengumpulan pajak dengan pengetatan dalam beberapa segi peraturan. Sedangkan masyarakat sebagian besar menginginkan pajak yang mereka bayarkan tetap sedikit. Kepatuhan terhadap peraturan merupakan hal utama yang dijadikan faktor penentu terkumpulnya uang pajak oleh pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak.

Dua tagline Direktorat Jenderal Pajak era pemerintahan 
Presiden Jokowi adalah Tahun Pembinaan Wajib Pajak, pada tahun kemarin dan Tahun Penegakan Hukum yang dilaksanakan tahun ini, 2016. Pada tahun 2015 diharapkan DJP mampu memperoleh simpati masyarakat dengan tujuan peningkatan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan melalui pendekatan sosialisasi, pengampunan dan pemberian keringanan terhadap Wajib Pajak. Tahun Pembinaan Wajib Pajak tampaknya kurang mendapatkan apresiasi dari masyarakat kalau menggunakan indikator tercapainya target penerimaan pajak tahun anggaran 2015 yang hanya mencapai 81,5% dari Rp. 1.294,258 triliun yang ditetapkan dalam APBN-P 2015. 

Program lanjutan yang dilaksanakan tahun 2016 berusaha meyakinkan masyarakat bahwa akan ada sanksi yang “berat” atas ketidakpatuhan terhadap peraturan perpajakan. Tahun penegakan hukum memaksa masyarakat berpikir bahwa Direktorat Jenderal Pajak sedang melakukan sweeping terhadap Wajib Pajak yang tidak patuh. Dari beberapa Wajib Pajak yang penulis temui mengaku bahwa mereka merasa was-was dengan tahun 2016, takut didenda atau disita asetnya. Apabila mengacu pada tulisan Gary S. Becker dalam Crime and Punishment: An Economic Approach, untuk menciptakan kondisi yang ideal terhadap kepatuhan terhadap aturan dapat dilakukan dengan meningkatkan upaya deteksi pelanggaran dan menciptakan sanksi yang lebih besar dibandingkan manfaat yang diperoleh dari pelanggaran itu. Dua hal ini akan menimbulkan efek “takut” pada Wajib Pajak, apabila benar-benar dapat dilaksanakan. Dalam era sosial media sekarang ini, dengan publikasi yang masiv dan teratur, bisa jadi program ini menjadi mercusuar pencitraan DJP dalam setahun.

Untuk mencapai target penerimaan pajak tahun 2016, sebesar Rp. 1.546 triliun tidak cukup menggunakan tonggak mercusuar ketakutan. Mercusuar tidak akan berguna bila tidak mampu memancarkan cahaya yang menjadi guidance arah kapal-kapal yang berlayar, walaupun dalam kenyataanya kapal juga mempunyai sistem navigasi sendiri. James Alm, dkk dalam Why do people pay taxes? mengungkapkan bahwa masyarakat tertentu patuh untuk membayar pajak tidak disebabkan karena adanya risiko sanksi yang akan mereka terima ketika tidak membayarnya. Masyarakat yang telah patuh dapat sukarela membayar pajak karena menganggap pemerintah telah berhasil menyediakan barang publik yang berguna bagi orang banyak dengan baik dan mereka berusaha untuk ikut berkontribusi didalamnya. DJP dapat menjadikan orang-orang seperti ini menjadi role model untuk menarik Wajib Pajak lain untuk taat aturan perpajakan. Fungsi guidance ini yang masih diperlukan oleh DJP ditahun 2016 ini. 

Dengan mercusuar ketakutan yang dibangun DJP disertai cahaya yang dapat dijadikan petunjuk arah Wajib Pajak, diharapkan tahun 2016 ini target penerimaan pajak dapat tercapai.