Jumat, 13 Mei 2016

GOLDEN TRIANGLE

Di dalam sebuah perusahaan terdapat tiga pihak yang mempunyai kepentingan satu sama lain. Hubungan ketiga pihak ini dapat diibaratkan sebuah segitiga, dimana masing-masing phak mengisi satu sisi. Tiga sisi segitiga harus bersatu, untuk menciptakan bentuk segitiga yang sempurna. Yang menjadi kepentingan bersama sekaligus pemersatu adalah laporan keuangan perusahaan. Sebagai pihak yang mempunyai interest yang sama, hubungan ketiganya dapat dideskripsikan sebagai hubungan yang complicated. Tidak jelas siapa yang menjadi sisi paling panjang, juga tidak jelas siapa yang menjadi sisi bawah. Tiga pihak ini adalah manajemen, pemegang saham atau investor dan pemerintah.


Manajamen merupakan pihak yang mengelola jalannya perusahaan. Dalam melakukan pekerjaannya, manajemen mempunyai empat fungsi utama, yaitu planning, organizing, directing, dan controlling. Empat fungsi tersebut bertujuan untuk menjalankan aktivitas perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan yang umumnya bersifat moneter. Manajemen lah yang menyusun laporan aktivitas perusahaan yang berupa laporan keuangan.
Pemegang saham, atau investor, secara langsung maupun tidak langsung merupakan pemilik perusahaan, karena dengan uang mereka, perusahaan memperoleh modal yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Pemegang saham berkepentingan terhadap modal yang disetorkan pada perusahaan. Mereka berharap mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari investasi yang dikeluarkan. Sesuai teori agency, pemegang saham berposisi sebagai principals, sedangkan yang menjadi agen adalah manajemen.

Dimana posisi pemerintah? Dengan adanya peraturan perundang-undangan tentang pajak penghasilan, pemerintah menjadi salah satu dari minority interest selayaknya pemegang saham lainnya. Pemerintah berkepentingan dalam memperoleh pajak dari pendapatan yang diperoleh oleh perusahaan.

Semakin berkembangnya perusahaan, semakin berkembang pula variasi dan banyaknya pemegang saham perusahaan. Semua dari mereka tidak mungkin mengawasi manajemen dalam melakukan tugas menjalankan perusahaan termasuk menyusun laporan keuangan. Mereka lebih memilih menjadi free rider, karena pengawasan akan membutuhkan banyak biaya. Namun demikian , pemerintah, melalui otoritas perpajakan, melakukan fungsi pengawasan tersebut. Selain untuk kepentingan perpajakan, pengawasan ini secara tidak langsung memeberikan keuntungan pemegang saham lainnya, karena dapat terwakili untuk mengawasi, tetapi dapat merugikan juga, karena pendapatan perusahaan akan berukurang untuk membayar pajak.

Hubungan ketiga pihak ini sangat menarik perhatian para peneliti, terutama berkaitan dengan perpajakan. Pada tahun 2007, Mihir A. Desai, Alexander Dyck dan Luigi Zingales meneliti tentang hubungan pajak perusahaan dan pengelolaan perusahaan. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa otoritas pajak dan pemegang saham mempunyai tujuan untuk mengurangi penyelewengan manajemen. Berdasar hal tersebut, penetapan tarif pajak yang tinggi akan memperburuk tata kelola perusahaan, akan tetapi, peningkatan pemaksaan pajak dapat meningkatkan tata kelola perusahaan sehingga bagian yang diterima pemegang saham juga meningkat. Apabila dikaitkan dengan perubahan kebijakan pemerintah dalam menaikkan tarif pajak, maka perusahaan dengan tata kelola yang baik akan merespons lebih baik dibandingkan perusahaan yang tata kelolanya kurang baik.

Mihir A. Desai bersama Dhammika Dharmapala, pada tahun 2009 melakukan penelitian terhadap hubungan manajemen laba dan penghindaran pajak. Dalam penelitian ini, berdasar teori agency, manajemen mengusahakan peningkaran laba termasuk dengan manipulasi tidak semata-mata untuk kepentingan pemegang saham, tetapi juga untuk mereka sendiri, karena mereka akan mendapatkan insentif lebih besar sejalan besarnya laba. Dari segi perpajakan menurut penelitian ini, perlu perubahan aturan dengan satu pelaporan keuangan untuk otoritas pajak sekaligus otoritas pasar modal. Hal ini akan menurunkan biaya kepatuhan.

Selanjutnya, Michelle Hanlon, Jeffrey L. Hoopes dan Nemit Shroff pada tahun 2014, mengembangkan penelitian dalam hubungan antara pemaksaan pajak dengan kualitas laporan keuangan. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa pemaksaan pajak berhasil meningkatkan kualitas laporan keuangan. Dengan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, kepentingan pemegang saham juga terlindungi dari penyimpangan manajemen.


Pajak perusahaan, tata kelola perusahaan, manajemen laba, penghindaran pajak, pemaksaan pajak dan kualitas laporan keuangan merupakan hal yang sangat berpengaruh dan berkaitan dengan hubungan manajemen, pemegang saham dan pemerintah. Keterkaitan satu dengan yang lain bisa jadi semakin kompleks sejalan dengan perkembangan dunia bisnis dan peraturan perpajakan.

CSR YANG TIDAK IDEAL

Semua yang ada di masyarakat harus mengikuti aturan yang berlaku di masyarakat itu. Orang, atau yang diorangkan, misalnya organisasi dan perusahaan saling bergaul dalam dinamika pergaulan masyarakat. Sejalan dengan teori legitimasi, sebuah organisasi akan lebih legitimate menjadi bagian dari masyarakat apabila dia mampu memperhatikan dan mematuhi norma sosial di masyarakat tersebut.
Sebuah perusahaan bisnis, merupakan organisasi yang mengkhususkan diri di bidang ekonomi, meskipun begitu, perusahaan ini tetap menjadi bagian dari masyarakat. Selain tujuan keuntungan, perusahaan juga harus memperhatikan lingkungan sekitar, baik sosial maupun lingkungan hidup. John Elkington, pada tahun 1988 memperkenalkan konsep tripple bottom line, yang mendefinisikan peran perusahaan menjadi 3 fungsi. Yang pertama, profit untuk keberlangsungan hidup perusahaan sendiri, yang kedua, people, yaitu kesejahteraan masyarakat sekitar. Yang ketiga planet, yang merepresentasikan lingkungan hidup yang menjadi habitat banyak makhluk lain.

Konsep tripple bottom line ini masih relevan digunakan sampai saat ini, dan diaplikasikan dalam bentuk CSR, Corporate Social Responsibility. Uang yang digunakan untuk membiayai CSR mengurangi laba yang akan diperoleh perusahaan, sehingga berpotensi mengurangi pajak yang akan dibayarkan juga. Hal ini yang harus menjadi perhatian  kita sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia keuangan negara. Keadaan ideal yang diharapkan adalah semua perusahaan menjalankan kewajiban perpajakannya dengan jujur, sekaligus mengeluarkan CSR untuk kepentingan masyarakat. Pada kenyataannya, kondisi ideal bagaikan fatamorgana, selaras pameo Milton Friedman (1990) “the business of business is business”. Bagaimana jika perusahaan mempunyai program CSR yang bagus, tetapi pada saat yang sama melakukan perencanaan pajak yang agresif? Atau bagaimana bila perusahaan menjadi Wajib Pajak yang patuh, tetapi disisi lain mereka tidak menjalankan CSR-nya? Mana yang lebih baik?

Pada tahun 2006, terungkap kasus penghindaran pajak yang melibatkan PT Asian Agri Grup. Salah satu modus yang digunakan adalah dengan menjual prduk minyak sawit mentah (CPO) keluaran PT Asian Agri kepada perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga dibawah pasar, kemudian dijual lagi ke pembeli riil dengan harga tinggi, sehingga pajak dalam negeri menjadi tertekan. Masih dalam belutan kasus tersebut, pada tahun 2014, PT Asian Agri mendapatkan penghargaan gold dalam CSR Award. Dua hal yang tidak konsisten, perusahaan tidak mau membayar pajak, tapi bersedia mengeluarkan uang banyak untuk mendanai CSR. Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Luts Preuz (2010) yang mengindikasikan bahwa CSR yang dilakukan perusahaan merupakan sekedar pemanis untuk laporan perusahaan, atau bisa jadi menjadi indikasi modus lain penghindaran pajak seperti hasil penelitian Lanis & Richardson (2013) dan Luke Watson (2014).

Pajak dan CSR merupakan dua hal yang sama-sama diamanatkan oleh undang-undang. Undang-undang Perseroan Terbatas, sebagai dasar kewajiban CSR tidak secara eksplisit mengatur besaran CSR yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Pada pasal 74 UU PT ayat (1) berbunyi, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Pada ayat (2) berbunyi, “tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1), merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Hal ini sangat berbeda dengan undang-undang perpajakan yang sangat rinci mengatur besaran pajak yang harus dibayarkan. Misalnya PPN adalah 10% dengan perhitungan Pajak Masukan dikurangi Pajak Keluaran, dan pajak penghasilan badan yang berlaku saat ini adalah 25% dari penghasilan kena pajak. Semua pajak yang dibayarkan dapat dihitung berdasarkan tarif yang berlaku. Dalam hal ini pajak lebih unggul daripada CSR.

Perusahaan sebagai entitas keuangan menginginkan efisiensi dalam pengeluaran sekaligus efektivitas dalam memperoleh laba.  Membandingkan kombinasi fokus perusahaan dalam CSR dan perencanaan pajak yang agresif sesuai pertanyaan diatas, menurut saya lebih baik perusahaan patuh terhadap aturan perpajakan, walaupun tidak melakukan CSR secara massive. Alasan pertama, dilihat dari segi fungsinya, pajak dan CSR mempunyai fungsi yang agak mirip, yaitu menyediakan barang publik untuk masyarakat. Apabila perusahaan hanya membayar pajak yang besar, maka kemungkinan dana tersebut akan mengalir kepada masyarakat juga, walaupun secara tidak langsung menggunakan nama perusahaan sebagai entitas pemberi dana. Yang kedua kemungkinan penggunaan skema CSR sebagai modus penghindaran pajak. Yang ketiga, aturan hukum pajak lebih jelas dan terperinci mengenai besaran pajak yang harus dibayarkan. Meskipun demikian, kita masih berharap perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat memenuhi kondisi ideal, dimana mereka menjalankan atruan perpajakan dengan patuh dan jujur sekaligus mengeluarkan CSR untuk kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitar.