Salah satu instrumen tax
enforcement yang dimiliki DJP adalah fungsional pemeriksa pajak. Dalam
SE-07/PJ.7/2000 ditetapkan kriteria pegawai DJP yang bisa menjadi fungsional
pemeriksa pajak, diantaranya, (a) dididik dan dilatih sebagai pemeriksa pajak;
(b) dididik dan dilatih mengenai pengetahuan perpajakan serta teknis
perpajakan; dan (c) diseleksi baik mental (attitude) maupun teknis pemeriksaan
pajak serta pengetahuan perpajakan. Dua poin menyebutkan keharusan pendidikan
dan pelatihan teknis pemeriksaan dan perpajakan sebagai syarat formal menjadi
seorang pemeriksa pajak. Sebenarnya, setiap pegawai DJP telah melakukan diklat
dasar tentang perpajakan. Boleh jadi kita bertanya, mengapa perlu ada training
lagi untuk pemeriksa pajak, dan pegawai lainnya? Ketika pendidikan nasional
mendapat perhatian pemerintah sebesar 20% dalam APBN, bagaimana perhatian DJP
untuk pendidikan pegawainya? Pada akhirnya pertanyaan bermuara pada apakah ada
pengaruh diklat pegawai DJP terhadap penerimaan pajak nasional yang didapat?
Nilgun Serim dkk (2014)
menyebutkan bahwa latar belakang pendidikan pegawai pajak berpengaruh pada
hubungan antara pegawai dan wajib pajak sebagai pihak yang dilayani. Pemahaman
tentang peraturan dan teknik menghadapi wajib pajak secara psikologi dapat
diajarkan dalam training untuk pegawai, sehingga pelayanan yang diberikan
menjadi lebih baik. Pegawai pajak harus selalu menjaga hubungan baik dengan
semua stakeholder, termasuk pada saat melakukan enforcement. Suasana alami yang
tercipta pada saat tax enforcement adalah suasana tegang, oleh akrena itu,
pemeriksa pajak harus bisa memainkan kondisi psikologi dirinya sendiri dan
wajib pajak yang diperiksa supaya tujuan pemeriksaan untuk mendapat informasi
dapat tercapai.
Pemeriksaan pajak merupakan serangkaian
kegiatan, mulai dari menghimpun dan mengolah data dan bukti yang bertujuan
untuk menguji kepatuhan terhadap ketentuan peratuaran perpajakan yang berlaku. Proses
analisis data wajib pajak memerlukan skill khusus dari pegawai pajak untuk
mendapatkan keyakinan atas kepatuhan wajib pajak, karena secara rasional, wajib
pajak akan berusaha menyembunyikan penghasilannya yang kena pajak. Kemampuan
khusus ini diajarkan pada diklat teknis substantif pemeriksaan pajak sebelum
pegawai diangkat menjadi fungsional pemeriksa pajak. Setelah diangkat menjadi
fungsional pemeriksa, pegawai tersebut masih mendapat penyegaran dengan diklat
khusus, misalnya tentang tindak pidana pencucian uang, transfer pricing dan
lain-lain untuk mempertajam naluri auditnya.
Tidak ada angka khusus yang dapat
merepresentasikan besarnya tambahan penerimaan pajak yang dihitung dari
banyaknya pendidikan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Akan tetapi secara
logis, apabila kemampuan pemeriksaan pajak semakin meningkat, maka potensi
penerimaan dari pemeriksaan semakin besar, baik karena pengaruh psikologi wajib
pajak yang terbuka maupun temuan oleh pemeriksa itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar