Rabu, 06 April 2016

BERDAMAI DENGAN WAJIB PAJAK


Pak Ken Dwijugeasteadi, Direktur Jenderal Pajak, malam tadi (selasa, 5 April 2016), di Metro TV, ketika ditanya tentang upaya memata-matai orang yang berbelanja melalui kartu kredit, menjawab dengan santai, bahwa beliau mengajak semua orang untuk bergotong royong dalam membangun negeri ini,  dan menjelaskan, sesuai undang-undang data kartu kredit bukan merupakan data rahasia perbankan. Jadi DJP sah untuk mempergunakan data tersebut. Sebagai orang nomor satu di Direktorat jenderal Pajak, Pak Ken harus mengetahui bagaimana cara memperlakukan stakeholder pajak. Stakeholder yang terlibat banyak sekali, mulai pegawai di lingkungan DJP, Sistem yang mempunyai kuasa politik saat ini, sampai wajib pajak yang menjadi sumber penerimaan DJP. Wajib pajak merupakan faktor terpenting dalam siklus ini.

Beberapa hari terakhir makin ramai pemberitaan mengenai Panama Paper yang melibatkan “Wajib Pajak” kelas kakap dari berbagai belahan dunia. Rilis yang dikeluarkan oleh firma hukum Mossack  Fonseca di Panama itu menampilkan 2.691 nama individu dan perusahaan ketika diketik kata kunci “Indonesia”.Sangat mencengangkan melihat data tersebut. Setiap hari DJP berusaha mendapatkan data wajib pajak, ternyata wajib pajak banyak melakukan penghindaran pajak ke luar negeri. Untuk menghadapi Wajib Pajak seperti ini, bagaimana DJP harus menempatkan diri? Apakah DJP harus memperlakukan Wajib Pajak sebagai penjahat yang sedang buron, atau sebagai pelanggan dagangan DJP?

DJP mempunyai kewenangan memaksa di bawah undang-undang. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Allingham dan Sandmo (1972), coersive power yang dimiliki DJP dapat berupa pemeriksaan pajak dan sanksi apabila ditemukan bukti pelanggaran terhadap aturan perpajakan. Apabila DJP menonjolkan tindakan pemaksaan dengan peningkatan frekuensi pemeriksaan dan pengenaan sanksi, berdasarkan penelitian Hofmann dkk (2014), kemungkinan hasil yang diperoleh adalah kepatuhan meningkat, tetapi membawa iklim perlawanan terhadap DJP sebagai otoritas perpajakan di Indonesia. situasi seperti itu bisa menjadi bumerang yang sewaktu-waktu dapat kembali menyerang kita ketika lengah. 

Selain itu, DJP juga mempunyai legitimate power yang berasaskan  transparansi dan keadilan dalam proses pemungutan pajak (Alm, 2010). Hofmann dkk (2014) menyatakan bahwa prediksi dampak dari penggunaan legitimate power ini adalah meingkatkan kepatuhan terhadap aturan, tanpa mengganggu iklim pelayanan terhadap Wajib Pajak, sehingga meningkatkan kepercayaan terhadap otoritas pengelola pajak.

Dalam buku Marketing is Bullshit, Ippho Santosa menjabarkan teknik marketingnya dalam delapan “bullshit”, yaitu, hoki itu kebetulan; terobosan adalah pemborosan; terobosan bukan keharusan; diferensia sukar dikreasi; kegigihan adalah segalanya; perlu metode untuk menghasilkan ide; segala sesuatu serba terbatas; dan laba adalah raja. Bullshit yang pertama merupakan hasil hubungan manusia dengan Tuhannya, dalam hal ini, pegawai DJP dengan kepercayaan masing-masing. Bullshit yang kedelapan merupakan tujuan akhir dari usaha marketing, kalau dalam pajak berarti penerimaan yang masuk untuk memenuhi target. Akan tetapi untuk sampai di bullshit delapan, ada bullshit kedua sampai ketujuh yang perlu diperhatikan. DJP mempunyai sumber daya yang terbatas, sehingga terobosan, diferensiasi dan ide baru mutlak diperlukan dalam usaha pengumpulan pajak negara. 

DJP perlu melakukan terobosan dengan memperlakukan Wajib Pajak sebagai pelanggan yang harus dilayani sepenuh hati. Untuk hal ini penulis setuju dengan langkah DJP yang akan memberikan   insentive pajak untuk modal yang akan masuk ke Indonesia, karena dalam jangka panjang akan menambah basis perpajakan di Indonesia. Kita layani Wajib Pajak, sehingga mereka nyaman dengan iklim ekonomi Indonesia. Ambil telurnya, jangan sembelih angsanya, sisakan telur untuk menetas menjadi angsa-angsa baru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar