Jumat, 13 Mei 2016

CSR YANG TIDAK IDEAL

Semua yang ada di masyarakat harus mengikuti aturan yang berlaku di masyarakat itu. Orang, atau yang diorangkan, misalnya organisasi dan perusahaan saling bergaul dalam dinamika pergaulan masyarakat. Sejalan dengan teori legitimasi, sebuah organisasi akan lebih legitimate menjadi bagian dari masyarakat apabila dia mampu memperhatikan dan mematuhi norma sosial di masyarakat tersebut.
Sebuah perusahaan bisnis, merupakan organisasi yang mengkhususkan diri di bidang ekonomi, meskipun begitu, perusahaan ini tetap menjadi bagian dari masyarakat. Selain tujuan keuntungan, perusahaan juga harus memperhatikan lingkungan sekitar, baik sosial maupun lingkungan hidup. John Elkington, pada tahun 1988 memperkenalkan konsep tripple bottom line, yang mendefinisikan peran perusahaan menjadi 3 fungsi. Yang pertama, profit untuk keberlangsungan hidup perusahaan sendiri, yang kedua, people, yaitu kesejahteraan masyarakat sekitar. Yang ketiga planet, yang merepresentasikan lingkungan hidup yang menjadi habitat banyak makhluk lain.

Konsep tripple bottom line ini masih relevan digunakan sampai saat ini, dan diaplikasikan dalam bentuk CSR, Corporate Social Responsibility. Uang yang digunakan untuk membiayai CSR mengurangi laba yang akan diperoleh perusahaan, sehingga berpotensi mengurangi pajak yang akan dibayarkan juga. Hal ini yang harus menjadi perhatian  kita sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia keuangan negara. Keadaan ideal yang diharapkan adalah semua perusahaan menjalankan kewajiban perpajakannya dengan jujur, sekaligus mengeluarkan CSR untuk kepentingan masyarakat. Pada kenyataannya, kondisi ideal bagaikan fatamorgana, selaras pameo Milton Friedman (1990) “the business of business is business”. Bagaimana jika perusahaan mempunyai program CSR yang bagus, tetapi pada saat yang sama melakukan perencanaan pajak yang agresif? Atau bagaimana bila perusahaan menjadi Wajib Pajak yang patuh, tetapi disisi lain mereka tidak menjalankan CSR-nya? Mana yang lebih baik?

Pada tahun 2006, terungkap kasus penghindaran pajak yang melibatkan PT Asian Agri Grup. Salah satu modus yang digunakan adalah dengan menjual prduk minyak sawit mentah (CPO) keluaran PT Asian Agri kepada perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga dibawah pasar, kemudian dijual lagi ke pembeli riil dengan harga tinggi, sehingga pajak dalam negeri menjadi tertekan. Masih dalam belutan kasus tersebut, pada tahun 2014, PT Asian Agri mendapatkan penghargaan gold dalam CSR Award. Dua hal yang tidak konsisten, perusahaan tidak mau membayar pajak, tapi bersedia mengeluarkan uang banyak untuk mendanai CSR. Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Luts Preuz (2010) yang mengindikasikan bahwa CSR yang dilakukan perusahaan merupakan sekedar pemanis untuk laporan perusahaan, atau bisa jadi menjadi indikasi modus lain penghindaran pajak seperti hasil penelitian Lanis & Richardson (2013) dan Luke Watson (2014).

Pajak dan CSR merupakan dua hal yang sama-sama diamanatkan oleh undang-undang. Undang-undang Perseroan Terbatas, sebagai dasar kewajiban CSR tidak secara eksplisit mengatur besaran CSR yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Pada pasal 74 UU PT ayat (1) berbunyi, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Pada ayat (2) berbunyi, “tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1), merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Hal ini sangat berbeda dengan undang-undang perpajakan yang sangat rinci mengatur besaran pajak yang harus dibayarkan. Misalnya PPN adalah 10% dengan perhitungan Pajak Masukan dikurangi Pajak Keluaran, dan pajak penghasilan badan yang berlaku saat ini adalah 25% dari penghasilan kena pajak. Semua pajak yang dibayarkan dapat dihitung berdasarkan tarif yang berlaku. Dalam hal ini pajak lebih unggul daripada CSR.

Perusahaan sebagai entitas keuangan menginginkan efisiensi dalam pengeluaran sekaligus efektivitas dalam memperoleh laba.  Membandingkan kombinasi fokus perusahaan dalam CSR dan perencanaan pajak yang agresif sesuai pertanyaan diatas, menurut saya lebih baik perusahaan patuh terhadap aturan perpajakan, walaupun tidak melakukan CSR secara massive. Alasan pertama, dilihat dari segi fungsinya, pajak dan CSR mempunyai fungsi yang agak mirip, yaitu menyediakan barang publik untuk masyarakat. Apabila perusahaan hanya membayar pajak yang besar, maka kemungkinan dana tersebut akan mengalir kepada masyarakat juga, walaupun secara tidak langsung menggunakan nama perusahaan sebagai entitas pemberi dana. Yang kedua kemungkinan penggunaan skema CSR sebagai modus penghindaran pajak. Yang ketiga, aturan hukum pajak lebih jelas dan terperinci mengenai besaran pajak yang harus dibayarkan. Meskipun demikian, kita masih berharap perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat memenuhi kondisi ideal, dimana mereka menjalankan atruan perpajakan dengan patuh dan jujur sekaligus mengeluarkan CSR untuk kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar