Sebuah perusahaan bisnis, merupakan organisasi yang
mengkhususkan diri di bidang ekonomi, meskipun begitu, perusahaan ini tetap
menjadi bagian dari masyarakat. Selain tujuan keuntungan, perusahaan juga harus
memperhatikan lingkungan sekitar, baik sosial maupun lingkungan hidup. John
Elkington, pada tahun 1988 memperkenalkan konsep tripple bottom line, yang mendefinisikan peran perusahaan menjadi 3
fungsi. Yang pertama, profit untuk
keberlangsungan hidup perusahaan sendiri, yang kedua, people, yaitu kesejahteraan masyarakat sekitar. Yang ketiga planet, yang merepresentasikan
lingkungan hidup yang menjadi habitat banyak makhluk lain.
Konsep tripple bottom
line ini masih relevan digunakan sampai saat ini, dan diaplikasikan dalam
bentuk CSR, Corporate Social
Responsibility. Uang yang digunakan untuk membiayai CSR mengurangi laba
yang akan diperoleh perusahaan, sehingga berpotensi mengurangi pajak yang akan
dibayarkan juga. Hal ini yang harus menjadi perhatian kita sebagai orang yang berkecimpung dalam
dunia keuangan negara. Keadaan ideal yang diharapkan adalah semua perusahaan menjalankan
kewajiban perpajakannya dengan jujur, sekaligus mengeluarkan CSR untuk
kepentingan masyarakat. Pada kenyataannya, kondisi ideal bagaikan fatamorgana,
selaras pameo Milton Friedman (1990) “the
business of business is business”. Bagaimana jika perusahaan mempunyai
program CSR yang bagus, tetapi pada saat yang sama melakukan perencanaan pajak
yang agresif? Atau bagaimana bila perusahaan menjadi Wajib Pajak yang patuh,
tetapi disisi lain mereka tidak menjalankan CSR-nya? Mana yang lebih baik?
Pada tahun 2006, terungkap kasus penghindaran pajak yang
melibatkan PT Asian Agri Grup. Salah satu modus yang digunakan adalah dengan
menjual prduk minyak sawit mentah (CPO) keluaran PT Asian Agri kepada
perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga dibawah pasar, kemudian dijual
lagi ke pembeli riil dengan harga tinggi, sehingga pajak dalam negeri menjadi
tertekan. Masih dalam belutan kasus tersebut, pada tahun 2014, PT Asian Agri
mendapatkan penghargaan gold dalam CSR Award. Dua hal yang tidak konsisten,
perusahaan tidak mau membayar pajak, tapi bersedia mengeluarkan uang banyak
untuk mendanai CSR. Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Luts Preuz
(2010) yang mengindikasikan bahwa CSR yang dilakukan perusahaan merupakan
sekedar pemanis untuk laporan perusahaan, atau bisa jadi menjadi indikasi modus
lain penghindaran pajak seperti hasil penelitian Lanis & Richardson (2013) dan
Luke Watson (2014).
Pajak dan CSR merupakan dua hal yang sama-sama diamanatkan
oleh undang-undang. Undang-undang Perseroan Terbatas, sebagai dasar kewajiban
CSR tidak secara eksplisit mengatur besaran CSR yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan. Pada pasal 74 UU PT ayat (1) berbunyi, “Perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Pada ayat (2) berbunyi,
“tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1), merupakan
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan
yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Hal
ini sangat berbeda dengan undang-undang perpajakan yang sangat rinci mengatur
besaran pajak yang harus dibayarkan. Misalnya PPN adalah 10% dengan perhitungan
Pajak Masukan dikurangi Pajak Keluaran, dan pajak penghasilan badan yang
berlaku saat ini adalah 25% dari penghasilan kena pajak. Semua pajak yang
dibayarkan dapat dihitung berdasarkan tarif yang berlaku. Dalam hal ini pajak
lebih unggul daripada CSR.
Perusahaan sebagai entitas keuangan menginginkan efisiensi
dalam pengeluaran sekaligus efektivitas dalam memperoleh laba. Membandingkan kombinasi fokus perusahaan dalam
CSR dan perencanaan pajak yang agresif sesuai pertanyaan diatas, menurut saya
lebih baik perusahaan patuh terhadap aturan perpajakan, walaupun tidak
melakukan CSR secara massive. Alasan pertama, dilihat dari segi fungsinya,
pajak dan CSR mempunyai fungsi yang agak mirip, yaitu menyediakan barang publik
untuk masyarakat. Apabila perusahaan hanya membayar pajak yang besar, maka
kemungkinan dana tersebut akan mengalir kepada masyarakat juga, walaupun secara
tidak langsung menggunakan nama perusahaan sebagai entitas pemberi dana. Yang
kedua kemungkinan penggunaan skema CSR sebagai modus penghindaran pajak. Yang
ketiga, aturan hukum pajak lebih jelas dan terperinci mengenai besaran pajak
yang harus dibayarkan. Meskipun demikian, kita masih berharap
perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat memenuhi kondisi ideal, dimana mereka
menjalankan atruan perpajakan dengan patuh dan jujur sekaligus mengeluarkan CSR
untuk kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar