Sabtu, 08 Agustus 2015

#MuktamarNU33 : Santri NU Ngaji Gajah Mada




Oke, akhirnya saya terjerumus juga untuk mengomentari hasil Muktamar ini, walaupun agak telat. hehe

Setiap kali Muktamar digelar, hampir bisa dipastikan ada fenomena menarik yang muncul. Dengan derasnya arus informasi media sosial, maka fenomena itu akan begitu saja terekspos khalayak ramai. Dalam muktamar kali ini, ada media nasional yang menuduh NU pecah antara yang mendukung AHWA dan yang tidak setuju dengannya. Akhirnya, muktamar pun selesai dengan sistem pemilihan oleh AHWA.

Pada masa Majapahit dibawah pemerintahan Jayanegara, terjadi pemberontakan oleh Ra Tanca. Pada saat itu, hukum yang berlaku adalah Raja dapat memiliki semua yang dimiliki oleh rakyatnya, termasuk harta bahkan istri rakyatnya. Ra Tanca yang tersinggung karena istrinya diambil oleh Jayanegara memberontak dan membunuh Rajanya sendiri. Sebagai Patih, Gajah Mada meredam pemberontakan dengan membunuh Ra Tanca, karena telah membunuh Raja sebagai symbol Majapahit.

Dari titik inilah saya munculkan tokoh Gajah Mada sebagai tokoh yang memiliki pandangan jauh kedepan. Ia lebih memilih menjadi negarawan dan mewujudkan visi persatuan Nusantara, yang belakangan akan diucapkan sebagai Amukti Palapa.

Gajah Mada memang tidak berkehendak menjadi raja. Jika ia mau, ia dapat memanfaatkan kondisi perpolitikan pada saat itu, seperti yang dilakukan oleh pendahulunya, Ken Arok. Ken Arok adalah orang yang dapat membunuh Kebo Ijo yang dituduh telah membunuh Tunggul Ametung, sang penguasa Tumapel. Kemudian Ken Arok mengangkat dirinya sebagai penguasa Tumapel menggantikan Tunggul Ametung dan menikahi mantan istrinya.

Gajah Mada tidak lantas meniru Ken Arok, mengangkat dirinya sebagai raja. Belajar dari yang dilakukan Ken Arok, membunuh Kebo Ijo, mengambil istri Tunggul Ametung dan mengangkat diri sebagai raja, hanya menyisakan balas dendam dan perebutan kekuasaan yang berujung pada rapuhnya kerajaan yang berimbas pada hilangnya ketenteraman dan kemakmuran rakyat.

Setelah muktamar selesai, terbentuklah susunan pengurus NU yang baru. Kalau Gajah Mada dapat berkaca pada Ken Arok, semoga santri-santri NU juga dapat berkaca pada organisasi-organisasi lain yang apabila tidak setuju dengan pimpinannya langsung membuat tandingan. Apa yang terjadi pada mereka? Setidaknya beberapa waktu setelah itu, sistem keorganisasiannya rapuh, bisa ambruk atau malah dimanfaatkan kepentingan yang jauh dari visi organisasi itu sendiri.

NU mempunyai banyak Gajah Mada dengan “amukti”nya yang siap mendukung pengurus baru demi terwujudnya NU yang dapat meneguhkan Islam Nusantara sebagai Rahmatan Lil Alamin.

Al muhafadhotu alal qodimis sholih, wa akhdu bil jadidil ashlah.