Jumat, 13 Mei 2016
CSR YANG TIDAK IDEAL
Kamis, 14 April 2016
SIMALAKAMA ATAU HARMONI (PAJAK DALAM AKUNTANSI)

Sabtu, 05 Februari 2011
Reviu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kamis, 03 Februari 2011
Konvergensi Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Indonesia ke International Financial Reporting Standards (IFRS)
Jumat, 17 Desember 2010
Saksi Ahli Bahasyim Bukan Akuntan Publik
![]() BAHASYIM ASSIFIE |
RMOL. Berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), Bahasyim Assifie punya duit sekitar Rp 932 miliar. Menurut akuntan Suyanto, duit bekas kepala Kantor Pajak Jakarta VII itu, hanya sekitar Rp 64 miliar. Suyanto adalah saksi ahli yang diajukan pihak Bahasyim ke persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mana yang benar?
Yang pasti, setelah Suyanto mengeluarkan keterangan yang meringankan Bahasyim itu, Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) mengeluarkan siaran pers berjudul “Saksi Ahli Kasus Bahasyim Assifie Bukan Akuntan Publik”.
Organisasi yang beranggotakan para akuntan publik itu, menyebut Suyanto telah membohongi publik lantaran mengatasnamakan dirinya sebagai anggota Akuntan Publik Indonesia. Alhasil, IAPI meminta kesaksian Suyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tak perlu didengar karena tidak kompeten secara profesi.
Dalam siaran pers itu disebutkan, IAPI telah melakukan kroscek, benarkah Suyanto sebagai anggota IAPI. IAPI juga telah berkoordinasi dengan Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Kementerian Keuangan selaku otoritas yang berwenang mengeluarkan izin akuntan publik.
“Setelah kami cek, Suyanto tidak termasuk dalam daftar anggota IAPI. PPAJP juga tidak pernah mengeluarkan izin praktik sebagai akuntan publik kepada Suyanto,” kata Sekretaris Umum IAPI Tarkosunaryo kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Keanggotaan IAPI, kata Tarko, haruslah disetujui dan mendapatkan izin dari Menteri Keuangan. Sedangkan Suyanto, lanjut dia, tidak mempunyai izin dan persetujuan dari Menteri Keuangan. “Suyanto hanya mempunyai register akuntan. Boleh saja dia mengaku sebagai akuntan, tetapi jangan mengaku sebagai akuntan publik,” tegasnya.
Tarko pun menjelaskan perbedaan akuntan publik dengan register akuntan. Akuntan publik, urainya, ialah orang yang berprofesi akuntan, telah mendapatkan izin dari Kementerian Keuangan dan PPAJP, sehingga diperbolehkan melakukan praktik sendiri dengan membuka kantor cabang. “Sedangkan register, tidak boleh membuka kantor cabang dan tidak diperkenankan membuka praktik sendiri. Jika membuka praktik dan kantor sendiri, berarti orang itu melanggar aturan,” tandasnya.
Setelah ditelusuri keberadaannya oleh IAPI, lanjutnya, Suyanto ternyata hanya staf akuntan di kantor akuntan publik Ahmad Rasyid, Hisbullah & Jerry, Bandung. Tarko pun sudah meminta keterangan kepada pihak kantor tersebut. “Keterangannya sama, Suyanto hanya memiliki register akuntan dan bukan akuntan publik,” tegasnya.
Berdasarkan kode etik akuntan di Indonesia, menurut Tarko, pemilik kantor akuntan publik tempat Suyanto bekerja itulah yang seharusnya memberikan keterangan di persidangan. “Jangan diwakilkan pakai surat kuasa dan menyuruh Suyanto yang hanya staf untuk bersaksi,” katanya.
Makanya, kata Tarko, jalan yang paling efektif menurut IAPI ialah pengadilan tak perlu mendengarkan kesaksian Suyanto sebagai saksi ahli. Soalnya, Suyanto tidak kompeten sebagai ahli. Selain itu, IAPI meminta saksi ahli yang sesungguhnya dihadirkan dalam sidang selanjutnya. “Sebaiknya keterangan Suyanto tidak didengar, sampai datang akuntan publik yang sesungguhnya ke persidangan,” ujarnya.
Tarko kembali mengingatkan, tidak semua orang yang berprofesi akuntan termasuk dalam akuntan publik. “Akuntan publik itu harus masuk dalam anggota IAPI, hukumnya wajib, tidak bisa ditawar. Makanya, begitu Suyanto mengaku akuntan publik, kami heran, soalnya tidak ada dalam database IAPI,” ujarnya.
Namun, pengacara Bahasyim, OC Kaligis menampik tudingan IAPI. Menurut dia, Suyanto adalah akuntan publik yang tercatat di Kementerian Keuangan. “Suyanto teregister di Kementerian Keuangan. Sudah kami kasih izin menterinya kepada majelis hakim. Nomor registernya ada,” ujar OC yang ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (16/12).
OC pun tidak sependapat bahwa kesaksian Suyanto tak sah lantaran Suyanto hanya seorang register akuntan. “Tidak bisa seperti itu, jelas-jelas profesinya sebagai akuntan. Suyanto biasa memberi keterangan sebagai ahli di pengadilan pajak. Kami ada kok bukti-buktinya. Dia juga sudah klarifikasi langsung ke IAPI,” katanya.
Akuntan publik Achmad Rodi Kartamulya, bos akuntan Suyanto, kemarin menjawab tudingan terhadap Suyanto. Menurut pimpinan kantor akuntan publik Ahmad, Rasyid, Hisbullah dan Jerry ini, Suyanto adalah staf ahli khusus dirinya yang ia perintahkan untuk menghadiri sidang Bahasyim Assifie.
“Suyanto ialah akuntan in charge yang saya utus untuk menghadiri sidang Bahasyim. Dia saya tugaskan untuk memaparkan hasil kompilasi, karena dia merangkap sebagai supervisor in charge atas pekerjaan kompilasi tersebut,” kata Achmad di kantornya, Jalan Kepu, Kemayoran, Jakarta.
Menurut Achmad, Suyanto sudah minta keterangan kepada Kementerian Keuangan dan IAPI. Suyanto, kata Achmad, diperintahkan untuk mengklarifikasi kembali duduk persoalaan. “Soal keabsahan Suyanto sebagai apa, dia staf ahli saya. Dia punya register negara yang tercatat di Kementerian Keuangan dengan nomor D-20697,” tandasnya.
Achmad menambahkan, apa yang dilakukan Suyanto terhadap dana Bahasyim hanya kompilasi atau penyusunan data yang diperoleh dan dipaparkan sesuai rekening koran sejak 2004 hingga 2010. “Apa yang kami sampaikan dalam persidangan itu sesuai fakta. Kami tidak berhak untuk beropini, apakah suatu perbuatan itu salah atau benar,” ujarnya.
Minta Hakim Teliti Saksi Ahli
Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR
Kehadiran akuntan Suyanto sebagai saksi ahli yang diajukan terdakwa Bahasyim dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, disesalkan anggota Komisi III DPR Deding Ishak. Soalnya, menurut Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Suyanto bukan akuntan publik.
“Saya berharap, lain kali hakim dan jaksa juga meneliti dengan cermat saksi yang diajukan pihak Bahasyim. Seharusnya, akuntan publik yang sesungguhnya yang datang ke pengadilan, bukannya register akuntan,” tandas anggota Fraksi Partai Golkar DPR ini, saat dihubungi, kemarin.
Pemberian kewenangan kepada Suyanto sebagai saksi ahli, menurut Deding, patut dicurigai. Soalnya, lanjut dia, saksi ahli dalam suatu persidangan mesti memenuhi dua kriteria. “Pertama, dari segi kompetensi harus kredibel. Kemudian, ada wadah tempat dirinya bernaung, dan wadah itu merupakan lembaga yang resmi,” tandasnya.
Meski begitu, Deding tetap menilai sah apa yang diutarakan Suyanto dalam persidangan. Hanya saja, ia menyesalkan tidak ada koreksi sebelum saksi tersebut tampil sebagai saksi ahli. “Tidak ada masalah mengenai apa yang dilontarkan, sepanjang tidak keluar dari teori dan standar akuntansi Indonesia,” imbuhnya.
Ke depan, kata Deding, pihak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mesti lebih teliti menghadapi saksi ahli yang diajukan pihak terdakwa untuk menjalankan pembuktian terbalik. “Pembuktian terbalik itu sangat bagus, tapi saksi yang dihadirkan harus menunjang. Makanya, perlu ketelitian dan koreksi hakim serta JPU mengenai saksi yang akan dihadirkan,” sarannya.
Deding pun menyarankan terdakwa untuk menghadirkan saksi ahli yang betul-betul akuntan publik. “Silakan lakukan itu, justru itu yang akan memberikan gambaran ke masyarakat, apakah Bahasyim betul-betul bersalah atau tidak,” ujarnya.
Kepada IAPI, dia mengimbau untuk meminta data sidang secara lengkap saat Suyanto bersaksi untuk Bahasyim. Soalnya, data itu untuk meluruskan kontroversi sah atau tidaknya kesaksian Suyanto, dan apakah sudah sesuai standar profesi akuntan publik. “Kalau mereka nyatakan tidak sah, berarti pihak Bahasyim harus menghadirkan akuntan publik lainnya,” katanya.
Hakim Bisa Minta Saksi Ahli Lain
Asep Iwan Iriawan, Pengamat Hukum Trisakti
Menurut Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), saksi ahli yang diajukan terdakwa Bahasyim Assifie, Suyanto bukan akuntan publik.
Tapi, menurut pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, kesaksian Suyanto di persidangan tetap sah. Soalnya, tak ada penjelasan dalam undang-undang bahwa saksi ahli harus berasal dari suatu lembaga tertentu. “Yang ada, saksi ahli haruslah menguasai bidang tertentu. Dia anggota akuntan publik atau bukan, kesaksiannya tetap sah di mata hukum,” kata Asep, kemarin.
Asep melanjutkan, keputusan sah tersebut dapat berubah manakala majelis hakim memutuskan kesaksian Suyanto tidak sah. “Hakim itu tidak terikat, bisa saja sewaktu-waktu hakim menyatakan kesaksian itu tidak sah. Tapi ingat, itu keputusan hakim, kalau dari undang-undang, kesaksian itu tetap sah,” tegasnya.
Hakim, kata dia, mempunyai kewenangan untuk mencari second opinion yang berupa pemanggilan saksi ahli lain. “Kalau menolak kesaksian Suyanto, maka hakim bisa meminta pihak Bahasyim untuk menghadirkan saksi ahli lain yang lebih kredibel,” tandasnya.
Mengenai terdakwa yang siap menggunakan azas pembuktian terbalik dalam kasus pencucian uang ini, Asep menyatakan, menghadirkan saksi-saksi yang kompeten dan kredibel menjawab pertanyaan hakim tentu sangat dibutuhkan. “Banyak orang mengaku saksi ahli, tapi ketika di depan hakim tidak bisa menjawab dengan lugas dan jelas,” ucapnya.
Dosen hukum pidana ini menambahkan, penggunaan azas pembuktian terbalik dalam kasus pencucian uang sudah tepat. Sehingga, Bahasyim yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Bukan JPU yang harus membuktikan Bahasyim bersalah. “Itu pilihan bagus, sekarang tinggal buktikan saja kepada pengadilan kalau dia tidak salah,” ujarnya. [RM]
Rabu, 15 Desember 2010
Asing-Lokal Berebut Saham Mustika Ratu

VIVAnews - Saham PT Mustika Ratu Tbk (MRAT) kabarnya sedang d
iincar salah satu perusahaan produk konsumen ternama dan terbesar dalam negeri yang juga mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Kabarnya, sekitar 30 persen saham Mustika Ratu bakal dibeli pada harga Rp900 per saham," kata sumber VIVAnews di Jakarta, Senin malam.
Sedangkan menurut sumber di Mustika Ratu, sejumlah investor lokal maupun asing sudah berulang kali menyatakan keinginannya untuk memiliki saham perusahaan produk kecantikan tersebut. Namun, hingga saat ini belum terjadi kesepakatan.
"Sudah banyak yang berminat dan memberi penawaran. Tapi, sampai saat ini belum ada yang terealisasi," ujar dia.
Dia menambahkan, selain belum ada kecocokan harga yang ditawarkan calon pembeli, Mustika Ratu merupakan perusahaan publik yang mayoritas sahamnya milik keluarga, sehingga lebih mengutamakan peningkatan kepemilikan dibanding dilepas ke pihak lain.
Sedangkan Putri Kuswisnu Wardhani, Vice President Director Mustika Ratu sampai berita ini diturunkan belum bisa dimintai konfirmasi, pesan singkat yang dikirim VIVAnews juga belum mendapatkan jawaban.
Sementara itu, Sancoyo Antarikso, sekretaris perusahaan PT Unilever Indonesia Tbk yang diisukan meminati saham Mustika Ratu mengaku belum mengetahui rencana itu. "Nggak, saya belum mendengar," ujar dia kepada VIVAnews.
Menurut dia, selama ini perseroan terus berupaya untuk tumbuh. Peluang untuk melakukan aksi korporasi seperti akuisisi dilakukan jika sesuai dengan strategi perseroan, sehingga memiliki nilai tambah. "Kami melihat sesuai opportunity yang ada," ujarnya.
Per 30 September 2010, Mellon Bank NA S/A Investors Pacific memiliki saham berkode MRAT sebesar 8,98 persen dan PT Mustika Ratu Investama sebesar 71,26 persen. Sedangkan sisanya dimiliki publik.
Pada perdagangan awal pekan ini, Senin 18 Oktober 2010 MRAT ditutup menguat Rp60 (11,11 persen) ke level Rp600. Namun, saat pembukaan transaksi hari ini, harga saham bergerak stagnan di posisi Rp600.
Seperti diketahui, kinerja keuangan perseroan pada paruh pertama 2010 relatif konservatif. Penjualan bersih hanya bertambah 3,2 persen dan laba bersih menebal 12 persen.
Pendapatan usaha emiten berkode MRAT ini sepanjang semester I-2010 naik tipis menjadi Rp168,29 miliar dari Rp163,16 miliar pada periode sama 2009. Laba kotor bertambah menjadi Rp94,09 miliar dari Rp90,86 miliar dan laba usaha mencapai Rp18,71 miliar dari sebelumnya Rp18,10 miliar.
Secara bottom line, laba bersih yang dibukukan hanya naik menjadi Rp11,77 miliar atau Rp28 per saham dari periode sama tahun sebelumnya Rp10,51 miliar atau setara Rp25 per saham. (art)
Proses Penyajian Neraca Awal
Mekanisme Penyajian Neraca Awal (Pemda)
(Oleh: Jamason Sinaga, Ak., MAP*)
Penyusunan dan penyesuaian neraca awal mengandung beberapa permasalahan yaitu:
1. Penyajian di tingkat Pemda atau SKPD;
2. Inventarisasi fisik atau dokumen;
3. Penyajian neraca sekaligus atau bertahap;
4. Penilaian aset dengan perusahaan penilai (appraisal).
1. Neraca Pemda dan Neraca SKPD
Neraca wajib disajikan oleh Pemda sebagai komponen dari laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun. Akan tetapi bukan hanya Pemda secara keseluruhan yang wajib menyusun neraca. Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) juga diwajibkan menyusun neraca. SKPD juga wajib menyusun laporan keuangan sesuai dengan SAP. Perbedaannya terletak pada maksud dan ruang lingkup. Pemda menyusun laporan keuangan untuk disampaikan kepada DPRD sebagai pertanggung jawaban, sementara itu kepala SKPD menyusun laporan keuangan yang disampaikan kepada kepala daerah untuk digabungkan menjadi laporan keuangan Pemda secara keseluruhan. Dari sisi ruang lingkup, Pemda menyajikan empat komponen laporan keuangan secara lengkap sedangkan SKPD hanya menyajikan tiga jenis laporan keuangan yaitu neraca, laporan realisasi anggaran, dan catatan atas laporan keuangan. Komponen laporan keuangan berupa laporan aliran kas hanya disusun oleh kepala daerah c.q bendahara umum daerah.
Neraca Pemda merupakan penggabungan dari seluruh neraca SKPD. Oleh karena itu, penyesuaian neraca SKPD sekaligus juga merupakan bagian dari penyesuaian neraca 9 Pemda secara keseluruhan. Demikian juga halnya dengan penyusunan neraca awal atau penyesuaian neraca awal. Penyesuaian seharusnya dilaksanakan di tingkat SKPD kemudian digabungkan sehingga diperoleh neraca gabungan yang akan menjadi neraca Pemda.
Sebagian Pemda yang sudah menyusun neraca awal, penyusunannya dilakukan dengan cara sentralisasi. Neraca tersebut dibuat di biro/bagian keuangan tanpa diketahui atau tidak dipisahkan menurut SKPD. Neraca tersebut bukan gabungan dari yang ada di setiap SKPD. Cara seperti ini akan menemui kesulitan ketika angka neraca yang disusun secara sentralisasi tadi akan disajikan menurut atau masingmasing SKPD.
2. Inventarisasi Fisik atau Dokumen
Penyusunan neraca merupakan suatu proses pengumpulan data aset dan kewajiban untuk dilakukan penggolongan, pengukuran, dan pengungkapan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP). Data mengenai aset dapat berupa dokumen yang membuktikan keberadaannya atau fisik aset yang bersangkutan. Pengumpulan data ini dalam Buletin Teknis Nomor 2 diistilahkan dengan inventarisasi.
Menurut Buletin Teknis, inventarisasi dapat dilakukan terhadap dokumen dan juga fisik. Akan tetapi persoalan yang timbul adalah apakah inventarisasi harus dilakukan terhadap kedua jenis bukti yang menunjukkan adanya aset? Dapatkah inventarisasi dilakukan hanya atas dokumen saja? Seharusnya memang dokumen dan fisik itu menunjukkan hal yang sama. Akan tetapi untuk membandingkan antara fisik dan dokumen sebenarnya sudah merupakan prosedur audit yang sudah berada di luar langkah penyajian neraca awal. Atau kemungkinan lainnya ditentukan prioritas terlebih dahulu. Misalnya jika dokumen dapat menunjukkan atau memberikan informasi yang lengkap mengenai aset yang bersangkutan maka tidak perlu dilakukan inventarisasi fisik. Pilihan lainnya, jika dokumen tidak memberikan informasi yang lengkap maka terhadap kekurangan informasi tersebut mungkin dapat diperoleh dari inventarisasi fisik. Misalnya saja untuk menentukan masa manfaat aset yang 10 bersangkutan dapat dilihat dari dokumen spesifikasi teknis oleh pihak yang kompeten dan jika informasi yang diperoleh belum cukup maka dapat dilakukan cara dengan melihat fisiknya. Atau pilihan lainnya, hanya pihak yang kompeten yang bersangkutan yang melihat aset dimaksud dan memberikan informasi. Jadi tidak perlu seluruh tim ikut melakukan inventarisasi setiap jenis aset kalau memang diperlukan infomasi dengan melihat fisik.
Permasalahan apakah inventarisasi fisik dan atau dokumen ini menjadi penting dan krusial karena neraca menunjukkan satu titik waktu atau tanggal tertentu sedangkan inventarisasi tidak mungkin dilakukan dalam satu titik waktu atau satu hari. Oleh karena itu jika harus dilakukan inventarisasi fisik dan dokumen sekaligus maka tidak mungkin dilakukan. Contoh, akun kas di kas daerah. Jika ditentukan tanggal neraca adalah 1 Januari 2006 apakah mungkin dilakukan inventarisasi fisik seluruh kas pada saat tersebut dengan membuat register penutupan kas? Tanggal 1 Januari adalah hari libur sehingga hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Atau jika pada tanggal 10 Januari 2007 dilakukan penyajian neraca per 31 Desember 2006, apakah mungkin dilakukan opname fisik kas per tanggal 31 Desember 2006 dengan membuat berita acara atau register penutupan kas? Inventarisasi fisik tanggal 10 Januari 2007 tidak mungkin dilakukan untuk posisi 31 Desember 2006, lantas apakah tidak dapat disusun neraca pada tanggal 31 Desember 2006? Penyajian neraca per 31 Desember 2006 tetap dapat dilakukan. Data diperoleh dari dokumen yang menunjukkan posisi kas per tanggal 31 Desember 2006 dan tidak perlu dilakukan inventarisasi fisik kas. Memang bisa dilakukan opname fisik kas per 10 Januari 2007 kemudian ditarik mundur ke 31 Desember 2006 tetapi ini sudah memasuki prosedur audit untuk meyakinkan posisi kas per tanggal 31 Desember 2006 bukan lagi proses penyusunan neraca itu sendiri.
Contoh lainnya mengenai persediaan. Inventarisasi fisik persis per tanggal neraca untuk keseluruhan persediaan juga sangat mustahil dilakukan apalagi jumlah persediaan sangat besar seperti persediaan obat-obatan. Inventarisasi yang dapat dilakukan untuk menghasilkan saldo akun persediaan bukan terhadap dokumen-11 dokumen pembeliannya tetapi dokumen yang menunjukkan posisi per tanggal tertentu. Informasi tersebut dapat diperoleh dari dokumen kartu gudang masingmasing jenis persediaan sehingga dapat diketahui saldo masing-masing jenis per tanggal 31 Desember. Dalam kondisi demikian apakah masih dilakukan inventarisasi fisik kemudian ditarik mundur ke tanggal neraca atau cukup dari catatan kartu gudang. Jika harus diakukan inventarisasi fisik dan ternyata fisik tidak sesuai dengan dokumen pendukungnya, informasi mana yang harus digunakan? Data dari dokumen atau fisik? Atau ditunggu sampai ada penyelesaian baru disusun neraca?
Contoh berikutnya mengenai aset tetap tanah. Misalnya sertifikatnya sudah ada dan tercatat dalam kartu inventaris barang (KIB), nilai jual obyek pajak (NJOP) juga ada. Apakah perlu diinventarisasi lagi fisiknya dengan mengukur luas tanah dengan membandingkan luasan yang ada di sertifikat dengan fisiknya? Atau inventarisasi fisiknya hanya dengan tengak-tengok (observasi) saja tanpa mengukur? Itu namanya bukan inventarisasi fisik. Untuk mengukur kembali dan membandingkan ukuran fisik dengan informasi yang ada di sertifikat, misalnya mengenai luas tanah, tidak mungkin dilakukan. Itu sudah berada di luar kewenangan tim teknis. Bagaimana kalau kita menggunakan dokumen sertifikat ternyata sertifikat tersebut palsu, apakah tim inventarisasi tidak dipersalahkan nantinya? Itu terlalu jauh. Penyajian aset dalam neraca tidak memberikan jaminan segala-galanya, fisiknya ada, dokumen pendukung ada, dokumen pendukung asli, tidak ada tuntutan atas aset dan lain sebagainya. Jadi, dalam melakukan penyusunan neraca untuk pos yang ada dokumen dan fisiknya yang digunakan hanya data dari dokumennya saja. Kalau dalam dokumen tersebut ada informasi yang belum tercakup, dapat dimintakan kepada pihak yang kompeten dengan membuatkan formulir untuk diisi. Formulir tersebut kemudian dikumpulkan untuk penyajian neraca.
3. Penyusunan Neraca Awal Sekaligus atau Bertahap
Penyusunan naraca awal atau penyesuaian dapat dilakukan secara bertahap. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa untuk menyusun neraca awal memerlukan waktu yang 12 lama sehingga tidak mungkin dilakukan hanya dalam satu bulan misalnya. Perlu dijelaskan lebih lanjut pengertian bertahap. Pengertian bertahap bisa saja pengerjaan dilakukan di unit A terlebih dahulu kemudian dilakukan di unit B, setelah itu di unit C dan seterusnya. Atau bisa juga dilakukan penyajian kas terlebih dahulu dibenahi, kemudian mengenai piutang, selanjutnya mengenai investasi, kemudian aset tetap. Atau bahkan mungkin karena asset tetap yang mengandung banyak permasalahan maka penyajian asset tetap dilakukan bertahap dalam neraca. Misalnya tahun 2006 hanya masalah tanah yang disajikan, tahun 2007 masalah gedung, tahun 2008 masalah jalan dan jembatan dan seterusnya.
Neraca menunjukkan posisi pada saat tertentu. Jika penyusunan dilaksanakan secara bertahap, posisi tanggal berapa neraca awal yang sesuai dengan SAP disajikan?
Apakah mungkin, penyesuaian kas dan piutang per 31 Desember 2006 dilakukan sementara penyesuaian untuk investasi dan asset tetap dilakukan per 31 Desember 2007? Atau penyesuaian asset tetap berupa tanah dilakukan tanggal 31 Desember 2006 sedangkan penyesuaian asset tetap berupa jalan dan jembatan dilakukan tanggal 30 Juni 2007? Atau kondisi bertahap lainnya, apakah mungkin unit A menyajikan neraca atau menyesuaikan neraca per 31 Desember 2006 sedangkan unit B tahun 2007 dan unit C tahun 2008? Jika demikian, kapan neraca awal dapat dikatakan sesuai dengan SAP? Hal tersebut tidak mungkin dilakukan.
Dalam rangka penyajian neraca awal harus ditentukan satu tanggal untuk penyusunan neraca atau penyesuaian neraca yang digunakan sebagai titik tolak. Misalnya jika ditentukan tanggal 31 Desember 2006 sebagai titik penyusunan atau penyesuaian maka seluruh proses harus didasarkan pada tanggal 31 Desember 2006. Inventarisasi dapat dilakukan sepanjang tahun 2007 tetapi untuk posisi per 31 Desember 2006. Penilaian aset dapat dilakukan tahun 29 Juli 2007 tetapi untuk posisi per 31 Desember 2006. Dengan demikian, pengerjaan neraca dapat dilakukan sepanjang tahun 2007 tetapi untuk posisi per tanggal per 31 Desember 2006 sehingga dapat dilakukan penyesuaian neraca per 31 Desember 2006.
4. Penilaian Aset dengan Perusahaan Penilai (Appraisal)
Dalam audit BPK atas laporan keuangan Pemda tahun 2005 ada terungkap bahwa asset belum wajar karena belum dilakukan penilaian oleh perusahaan penilai independen. Pertanyaannya adalah, apakah penilaian asset harus dilakukan oleh perusahaan penilai yang independen? Kalau ya, apakah harus seluruhnya atau hanya sebagian saja? Data atau informasi apa yang dibutuhkan untuk penyajian asset dalam neraca dan apakah data atau informasi tersebut seluruhnya dapat disajikan oleh penilai independen?
Unsur-unsur atau pos-pos neraca secara garis besar terdiri dari kas, persediaan, piutang, investasi, aset tetap, aset lainnya, kewajiban, dan ekuitas. Perusahaan penilai tidak melakukan penilaian atas keseluruhan pos yang disebut di atas karena memang tidak seluruhnya memerlukan penilaian perusahaan penilai. Pos yang biasanya dilakukan penilaian adalah asset tetap. Kewajiban dan ekuitas bahkan sama sekali tidak ada kewenangan perusahaan penilai untuk menentukan nilainya. Oleh karena itu tidak seluruh pos neraca dapat diperoleh nilainya dengan melakukan penilaian oleh perusahaan penilai.
Informasi yang dibutuhkan untuk penyajian asset khususnya asset tetap di neraca adalah mengenai pengklasifikasian asset, nilai, dan umur ekonomis/manfaat. Pengklasifikasian ini diperlukan agar klasifikasi asset menurut teknis dan klasifikasi menurut standar akuntansi dapat cocok. Misalnya, dalam klasifikasi asset tetap di neraca terdapat pos/akun Jalan, Jaringan, dan Irigasi. Jalan dapat terdiri dari berbagai jenis misalnya jalan kabupaten, provinsi, atau jalan negara. Irigasi juga terdiri dari berbagai tipe misalnya irigasi primer, tersier dan seterusnya. Meskipun Jalan, Jaringan, dan Irigasi digabung dalam satu pos, rincian masing-masing harus tetap disajikan. Disinilah arti penting pengklasifikasian jalan menurut pengertian teknis. Pengklasifikasian seperti ini tidak dapat disajikan oleh perusahaan penilai karena pengklasifikasian menurut tata cara penilaian berbeda dengan penilaian menurut pihak yang kompeten atau pihak yang berwenang.
Nilai diperlukan karena akuntan tidak mempunyai keahlian dalam menetapkan harga aset khususnya aset yang sudah lama diperoleh. Misalnya nilai untuk bangunan yang sudah diperoleh dua puluh tahun yang lalu dan masih digunakan sampai dengan saat ini. Contoh lainnya misalnya, berrapa nilai jembatan yang dibangun sejak jaman Belanda dan sampai saat ini masih berfungsi. Nilai seperti yang dimaksudkan ini menjadi fokus utama pekerjaan perusahaan penilai. Untuk aset yang baru diperoleh dapat dinilai dengan nilai perolehan berdasarkan bukti yang ada dan tidak perlu ada penilaian dari pihak lain. Misalnya gedung yang baru dibangun satu tahun yang lewat maka dokumen pendukung bukti perolehan masih ada sehingga dapat digunakan sebagai dasar penilaian.
Masa manfaat atau umur ekonomis diperlukan untuk menentukan besarnya penyusutan di masa yang akan datang. Aset tetap kecuali tanah dan konstruksi dalam pengerjaan harus disusutkan berdasarkan SAP. Dalam rangka penyusutan harus diketahui masa manfaat aset yang bersangkutan dan masa manfaat ini hanya dapat ditentukan oleh pihak yang kompeten. Misalnya, gedung yang diperoleh atau dibangun sepuluh tahun yang lalu berapa tahun lagi masa manfaatnya? Jika masa manfaatnya hanya lima tahun lagi maka penyusutan gedung tersebut dihitung berdasarkan masa manfaat lima tahun tersebut. Perusahaan penilai tidak kompeten dalam menentukan masa manfaat atau umur ekonomis seperti ini. Jadi dari tiga informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan neraca, hanya satu yang dapat disediakan oleh perusahaan penilai independen. Buletin Teknis Nomor 2 tidak mewajibkan aset dinilai oleh perusahaan penilai. Penilaian aset khususnya aset tetap dengan cara appraisal bukan semata-mata dilakukan oleh perusahaan penilai yang independen. Akan tetapi penilaian dapat juga dilakukan oleh tim yang berwenang yang kompeten. Buletin Teknis No. 2 sangat hati-hati dalam menggunakan istilah perusahaan penilai (appraisal) dengan menyatakan bahwa harus dipertimbangkan antara biaya dan manfaat yang diperoleh dari penilaian seperti itu.
sumber: http://www.ksap.org