Tampilkan postingan dengan label Akuntansi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akuntansi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 Mei 2016

CSR YANG TIDAK IDEAL

Semua yang ada di masyarakat harus mengikuti aturan yang berlaku di masyarakat itu. Orang, atau yang diorangkan, misalnya organisasi dan perusahaan saling bergaul dalam dinamika pergaulan masyarakat. Sejalan dengan teori legitimasi, sebuah organisasi akan lebih legitimate menjadi bagian dari masyarakat apabila dia mampu memperhatikan dan mematuhi norma sosial di masyarakat tersebut.
Sebuah perusahaan bisnis, merupakan organisasi yang mengkhususkan diri di bidang ekonomi, meskipun begitu, perusahaan ini tetap menjadi bagian dari masyarakat. Selain tujuan keuntungan, perusahaan juga harus memperhatikan lingkungan sekitar, baik sosial maupun lingkungan hidup. John Elkington, pada tahun 1988 memperkenalkan konsep tripple bottom line, yang mendefinisikan peran perusahaan menjadi 3 fungsi. Yang pertama, profit untuk keberlangsungan hidup perusahaan sendiri, yang kedua, people, yaitu kesejahteraan masyarakat sekitar. Yang ketiga planet, yang merepresentasikan lingkungan hidup yang menjadi habitat banyak makhluk lain.

Konsep tripple bottom line ini masih relevan digunakan sampai saat ini, dan diaplikasikan dalam bentuk CSR, Corporate Social Responsibility. Uang yang digunakan untuk membiayai CSR mengurangi laba yang akan diperoleh perusahaan, sehingga berpotensi mengurangi pajak yang akan dibayarkan juga. Hal ini yang harus menjadi perhatian  kita sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia keuangan negara. Keadaan ideal yang diharapkan adalah semua perusahaan menjalankan kewajiban perpajakannya dengan jujur, sekaligus mengeluarkan CSR untuk kepentingan masyarakat. Pada kenyataannya, kondisi ideal bagaikan fatamorgana, selaras pameo Milton Friedman (1990) “the business of business is business”. Bagaimana jika perusahaan mempunyai program CSR yang bagus, tetapi pada saat yang sama melakukan perencanaan pajak yang agresif? Atau bagaimana bila perusahaan menjadi Wajib Pajak yang patuh, tetapi disisi lain mereka tidak menjalankan CSR-nya? Mana yang lebih baik?

Pada tahun 2006, terungkap kasus penghindaran pajak yang melibatkan PT Asian Agri Grup. Salah satu modus yang digunakan adalah dengan menjual prduk minyak sawit mentah (CPO) keluaran PT Asian Agri kepada perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga dibawah pasar, kemudian dijual lagi ke pembeli riil dengan harga tinggi, sehingga pajak dalam negeri menjadi tertekan. Masih dalam belutan kasus tersebut, pada tahun 2014, PT Asian Agri mendapatkan penghargaan gold dalam CSR Award. Dua hal yang tidak konsisten, perusahaan tidak mau membayar pajak, tapi bersedia mengeluarkan uang banyak untuk mendanai CSR. Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Luts Preuz (2010) yang mengindikasikan bahwa CSR yang dilakukan perusahaan merupakan sekedar pemanis untuk laporan perusahaan, atau bisa jadi menjadi indikasi modus lain penghindaran pajak seperti hasil penelitian Lanis & Richardson (2013) dan Luke Watson (2014).

Pajak dan CSR merupakan dua hal yang sama-sama diamanatkan oleh undang-undang. Undang-undang Perseroan Terbatas, sebagai dasar kewajiban CSR tidak secara eksplisit mengatur besaran CSR yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Pada pasal 74 UU PT ayat (1) berbunyi, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Pada ayat (2) berbunyi, “tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1), merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Hal ini sangat berbeda dengan undang-undang perpajakan yang sangat rinci mengatur besaran pajak yang harus dibayarkan. Misalnya PPN adalah 10% dengan perhitungan Pajak Masukan dikurangi Pajak Keluaran, dan pajak penghasilan badan yang berlaku saat ini adalah 25% dari penghasilan kena pajak. Semua pajak yang dibayarkan dapat dihitung berdasarkan tarif yang berlaku. Dalam hal ini pajak lebih unggul daripada CSR.

Perusahaan sebagai entitas keuangan menginginkan efisiensi dalam pengeluaran sekaligus efektivitas dalam memperoleh laba.  Membandingkan kombinasi fokus perusahaan dalam CSR dan perencanaan pajak yang agresif sesuai pertanyaan diatas, menurut saya lebih baik perusahaan patuh terhadap aturan perpajakan, walaupun tidak melakukan CSR secara massive. Alasan pertama, dilihat dari segi fungsinya, pajak dan CSR mempunyai fungsi yang agak mirip, yaitu menyediakan barang publik untuk masyarakat. Apabila perusahaan hanya membayar pajak yang besar, maka kemungkinan dana tersebut akan mengalir kepada masyarakat juga, walaupun secara tidak langsung menggunakan nama perusahaan sebagai entitas pemberi dana. Yang kedua kemungkinan penggunaan skema CSR sebagai modus penghindaran pajak. Yang ketiga, aturan hukum pajak lebih jelas dan terperinci mengenai besaran pajak yang harus dibayarkan. Meskipun demikian, kita masih berharap perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat memenuhi kondisi ideal, dimana mereka menjalankan atruan perpajakan dengan patuh dan jujur sekaligus mengeluarkan CSR untuk kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitar.

Kamis, 14 April 2016

SIMALAKAMA ATAU HARMONI (PAJAK DALAM AKUNTANSI)

Ilmu menghitung uang telah berkembang sejak masa dimana ditemukan uang itu sendiri. Uang sebagai nilai tukar menjadi ukuran kekayaan seseorang atau organisasi. Perjalanan hitung menghitung ini berdampak pada  penilaian apakah si A termasuk orang kaya, apakah si B orang setengah kaya, atau si C menjadi miskin akibat uangnya habis? Kondisi masyarakat sangat bervariasi, oleh karena itu perlu adanya campur tangan pemerintah dalam menjaga perekonomian masyarakatnya, yaitu melalui pajak.




Dalam perkembangannya, ilmu pajak tidak terlepas dari ilmu menghitung uang, yang lebih dikenal dengan ilmu akuntansi. Dengan mengikuti perkembangan akuntansi, pajak berharap dapat memberikan penerimaan kepada negara sesuai dengan aturan yang disepakati. Para peneliti banyak melakukan riset tentang pajak yang dihubungkan dengan akuntansi. Bagaimana pengaruh pajak dalam pelaopran akuntansi wajib pajak banyak menarik para peneliti untuk mencari jawabannya.

Apabila si A mempunyai penghasilan Rp. 1 miliar dalam sebulan tentu saja harus membayar pajak yang berbeda dengan si C yang mempunyai penghasilan Rp. 1 juta dalam sebulan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh asas keadilan yang dimaksudkan supaya si C juga bisa mendapat penghidupan yang layak tiap harinya. Akan tetapi, si A juga berpikir, bagaimana supaya pajaknya bisa seminimal mungkin. Si A menghitung kembali penghasilannya dan mengaku bahwa dia hanya berpenghasilan  Rp. 500 juta sebulan. Nilai 500 juta lumayan untuk dapat memperoleh separoh dari perhitungan pajak yang seharusnya. 

Proses catat-mencatat ini menjadi sensitif ketika dibenturkan dengan perhitungan pajak. Sebuah perusahaan ingin dilihat sebagai perusahaan yang bonafide dengan laporan keuangan yang bagus. Laporan keuangan yang bagus akan mempengaruhi investor yang menanamkan modalnya, para kreditur untuk meminjamkan dananya, dan konsumen untuk membeli dari perusahaan yang sehat secara finansial. Di sisi lain, apabila kinerja keuangan bagus, laba besar, kemungkinan besar pajak akan semakin membengkak. Hal ini sejalan dengan penelitian Hanlon dan Heitzman (2010), sedikit banyak perbedaan perhitungan laba akuntansi dengan penghasilan kena pajak berimplikasi pada penyajian laporan keuangan. Seperti buah simalakama memang.  

Pemerintah berusaha mengakomodasi kepentingan swasta sebagai pembayar pajak dan pemerintah sendiri sebagai pengumpul pajak. Kedua kepentingan yang saling berbenturan dalam berbagai aspek, misalnya ketidakseimbangan penghasilan dalam masyarakat dan swasta menginginkan tarif pajak yang kecil dengan banyak perlakuan khusus. Akibat dari pajak pemerintah ini, swasta berusaha melakukan penyimpangan dalam memperlakukan perhitungan akuntansinya. Tax evasion yang dilakukan Wajib Pajak dengan merubah komponen-komponen laporan keuangan menjadi tidak sejalan dengan program pemerintah yang berusaha mengumpulkan pajak yang besar. Usaha penyembunyian laba atau melakukan mark up biaya yang dikeluarkan menajdi modus yang sering dilakukan oleh tax evader.

Maydew (2000) mengingatkan supaya penelitian pajak tidak hanya berfokus pada lingkup nasional saja, karena dunia global telah menjadikan tax evasion maupun tax avoidance semakin beragam sampai ke luar negeri. Terungkapnya skandal Panama Paper menjadi bukti yang sahih bahwa kaum elit dunia tidak jujur dengan laporan keuangannya. Mereka berusaha menyembunyikan harta mereka di negara yang temasuk tax heaven.

Diakui atau tidak, pajak mempunyai pengaruh terhadap laporan keuangan wajib pajak. Akan tetapi apabila laporan akuntansi disajikan secara wajar, tidak ada sesuatu yang sengaja disembunyikan, tentu akan terjadi harmoni dengan perhitungan pajak.

Kamis, 03 Februari 2011

Konvergensi Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Indonesia ke International Financial Reporting Standards (IFRS)

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada hari ini Selasa, 23 Desember 2008 dalam rangka Ulang tahunnya ke-51 mendeklarasikan rencana Indonesia untuk convergence terhadap International Financial Reporting Standards (IFRS) dalam pengaturan standar akuntansi keuangan.

Jumat, 17 Desember 2010

Saksi Ahli Bahasyim Bukan Akuntan Publik

Penelusuran Institut Akuntan Publik Indonesia


BAHASYIM ASSIFIE


RMOL.
Berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), Bahasyim Assifie punya duit sekitar Rp 932 miliar. Menurut akuntan Suyanto, duit bekas kepala Kantor Pajak Jakarta VII itu, hanya sekitar Rp 64 miliar. Suyanto adalah saksi ahli yang diajukan pihak Bahasyim ke persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mana yang benar?

Yang pasti, setelah Suyanto mengeluarkan keterangan yang meringankan Bahasyim itu, Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) mengeluarkan siaran pers berjudul “Saksi Ahli Kasus Baha­syim Assifie Bukan Akun­tan Publik”.

Organisasi yang beranggota­kan para akuntan publik itu, menyebut Suyanto telah mem­bohongi publik lantaran meng­atas­namakan dirinya sebagai anggota Akuntan Publik Indo­nesia. Alhasil, IAPI meminta ke­sak­sian Suyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tak perlu didengar karena tidak kompeten secara profesi.

Dalam siaran pers itu disebut­kan, IAPI telah melakukan kros­cek, benarkah Suyanto sebagai anggota IAPI. IAPI juga telah berkoordinasi dengan Pusat Pem­binaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Kementerian Keuangan selaku otoritas yang berwenang mengeluarkan izin akuntan pub­lik.

“Setelah kami cek, Suyanto tidak termasuk dalam daftar anggota IAPI. PPAJP juga tidak pernah mengeluarkan izin praktik sebagai akuntan publik kepada Suyanto,” kata Sekretaris Umum IAPI Tarkosunaryo kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Keanggotaan IAPI, kata Tarko, haruslah disetujui dan mendapat­kan izin dari Menteri Keuangan. Sedangkan Suyanto, lanjut dia, tidak mempunyai izin dan persetujuan dari Menteri Keuang­an. “Suyanto hanya mempunyai register akuntan. Boleh saja dia mengaku sebagai akuntan, tetapi jangan mengaku sebagai akuntan publik,” tegasnya.

Tarko pun menjelaskan per­beda­an akuntan publik dengan register akuntan. Akuntan publik, urainya, ialah orang yang ber­profesi akuntan, telah mendapat­kan izin dari Kementerian Ke­uangan dan PPAJP, sehingga diperbolehkan melakukan praktik sendiri dengan membuka kantor cabang. “Sedangkan register, tidak boleh membuka kantor cabang dan tidak diperkenankan membuka praktik sendiri. Jika membuka praktik dan kantor sen­diri, berarti orang itu melanggar aturan,” tandasnya.

Setelah ditelusuri keberadaan­nya oleh IAPI, lanjutnya, Suyanto ternyata hanya staf akuntan di kantor akuntan publik Ahmad Rasyid, Hisbullah & Jerry, Bandung. Tarko pun sudah me­minta keterangan kepada pihak kantor tersebut. “Keterangannya sama, Suyanto hanya memiliki register akuntan dan bukan akuntan publik,” tegasnya.

Berdasarkan kode etik akun­tan di Indonesia, menurut Tarko, pemilik kantor akuntan publik tem­pat Suyanto bekerja itulah yang seharusnya memberikan keterangan di persidangan. “Jang­­an diwakilkan pakai surat ku­asa dan menyuruh Suyanto yang hanya staf untuk ber­saksi,” katanya.

Makanya, kata Tarko, jalan yang paling efektif menurut IAPI ialah pengadilan tak perlu men­dengarkan kesaksian Suyan­to sebagai saksi ahli. Soalnya, Su­yanto tidak kompeten sebagai ahli. Selain itu, IAPI meminta saksi ahli yang sesungguhnya dihadirkan dalam sidang selanjut­nya. “Sebaiknya keterangan Su­yan­to tidak didengar, sampai datang akuntan publik yang se­sungguhnya ke persidangan,” ujarnya.

Tarko kembali mengingatkan, tidak semua orang yang ber­profesi akuntan termasuk dalam akuntan publik. “Akuntan publik itu harus masuk dalam anggota IAPI, hukumnya wajib, tidak bisa ditawar. Makanya, begitu Su­yanto mengaku akuntan publik, kami heran, soalnya tidak ada dalam database IAPI,” ujarnya.

Namun, pengacara Bahasyim, OC Kaligis menampik tudingan IAPI. Menurut dia, Suyanto adalah akuntan publik yang tercatat di Kementerian Ke­uang­an. “Suyanto teregister di Ke­men­terian Keuangan. Sudah kami kasih izin menterinya kepada majelis hakim. Nomor registernya ada,” ujar OC yang ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Sela­tan, Kamis (16/12).

OC pun tidak sependapat bahwa kesaksian Suyanto tak sah lantaran Suyanto hanya seorang register akuntan. “Tidak bisa seper­ti itu, jelas-jelas profesinya sebagai akuntan. Suyanto biasa memberi keterangan sebagai ahli di pengadilan pajak. Kami ada kok bukti-buktinya. Dia juga sudah klarifikasi langsung ke IAPI,” katanya.

Akuntan publik Achmad Rodi Kartamulya, bos akuntan Suyan­to, kemarin menjawab tudingan terhadap Suyanto. Menurut pimpinan kantor akuntan publik Ahmad, Rasyid, Hisbullah dan Jerry ini, Suyanto adalah staf ahli khusus dirinya yang ia perintahkan untuk menghadiri sidang Bahasyim Assifie.

“Suyanto ialah akuntan in charge yang saya utus untuk menghadiri sidang Bahasyim. Dia saya tugaskan untuk memaparkan hasil kompilasi, karena dia merangkap sebagai supervisor in charge atas pekerjaan kompilasi tersebut,” kata Achmad di kantornya, Jalan Kepu, Kemayoran, Jakarta.

Menurut Achmad, Suyanto sudah minta keterangan kepada Kementerian Keuangan dan IAPI. Suyanto, kata Achmad, diperintahkan untuk mengklarifi­kasi kembali duduk persoalaan. “Soal keabsahan Suyanto sebagai apa, dia staf ahli saya. Dia punya register negara yang tercatat di Kementerian Keuangan dengan nomor D-20697,” tandasnya.

Achmad menambahkan, apa yang dilakukan Suyanto ter­hadap dana Bahasyim hanya kom­pilasi atau penyusunan data yang diperoleh dan dipaparkan sesuai rekening koran sejak 2004 hingga 2010. “Apa yang kami sampaikan dalam persidangan itu sesuai fakta. Kami tidak berhak untuk beropini, apakah suatu perbuatan itu salah atau benar,” ujarnya.

Minta Hakim Teliti Saksi Ahli
Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR

Kehadiran akuntan Suyan­to sebagai saksi ahli yang diaju­kan terdakwa Bahasyim dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, disesalkan ang­gota Komisi III DPR Deding Ishak. Soalnya, menurut Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Suyanto bukan akuntan publik.

“Saya berharap, lain kali hakim dan jaksa juga meneliti dengan cermat saksi yang di­ajukan pihak Bahasyim. Se­harus­nya, akuntan publik yang sesungguhnya yang datang ke pengadilan, bukannya register akuntan,” tandas anggota Fraksi Partai Golkar DPR ini, saat dihubungi, kemarin.

Pemberian kewenangan ke­pada Suyanto sebagai saksi ahli, menurut Deding, patut di­curi­gai. Soalnya, lanjut dia, saksi ahli dalam suatu per­sidangan mesti memenuhi dua kriteria. “Pertama, dari segi kompetensi harus kredibel. Kemudian, ada wadah tempat dirinya ber­naung, dan wadah itu merupa­kan lembaga yang resmi,” tandasnya.

Meski begitu, Deding tetap menilai sah apa yang diutarakan Suyanto dalam persidangan. Hanya saja, ia menyesalkan tidak ada koreksi sebelum saksi tersebut tampil sebagai saksi ahli. “Tidak ada masalah meng­enai apa yang dilontarkan, sepanjang tidak keluar dari teori dan standar akuntansi Indo­nesia,” imbuhnya.

Ke depan, kata Deding, pihak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mesti lebih teliti meng­hadapi saksi ahli yang diajukan pihak terdakwa untuk men­jalan­kan pembuktian terbalik. “Pembuktian terbalik itu sangat bagus, tapi saksi yang dihadir­kan harus menunjang. Maka­nya, perlu ketelitian dan koreksi hakim serta JPU mengenai saksi yang akan dihadirkan,” sarannya.

Deding pun menyarankan terdakwa untuk menghadirkan saksi ahli yang betul-betul akuntan publik. “Silakan laku­kan itu, justru itu yang akan memberikan gambaran ke masyarakat, apakah Bahasyim betul-betul bersalah atau tidak,” ujarnya.

Kepada IAPI, dia meng­imbau untuk meminta data si­dang secara lengkap saat Suyan­to bersaksi untuk Baha­syim. Soalnya, data itu untuk meluruskan kontroversi sah atau tidaknya kesaksian Suyan­to, dan apakah sudah sesuai standar profesi akuntan publik. “Kalau mereka nyatakan tidak sah, berarti pihak Bahasyim harus menghadirkan akuntan publik lainnya,” katanya.

Hakim Bisa Minta Saksi Ahli Lain
Asep Iwan Iriawan, Pengamat Hukum Trisakti

Menurut Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), saksi ahli yang diajukan terdakwa Bahasyim Assifie, Suyanto bukan akuntan publik.

Tapi, menurut pengamat hu­kum dari Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, kesaksian Suyanto di persidangan tetap sah. Soalnya, tak ada pen­jelasan dalam undang-undang bahwa saksi ahli harus berasal dari suatu lembaga tertentu. “Yang ada, saksi ahli haruslah meng­uasai bidang tertentu. Dia ang­gota akuntan publik atau bukan, kesaksiannya tetap sah di mata hukum,” kata Asep, kemarin.

Asep melanjutkan, keputusan sah tersebut dapat berubah manakala majelis hakim me­mutuskan kesaksian Suyanto tidak sah. “Hakim itu tidak terikat, bisa saja sewaktu-waktu hakim menyatakan kesaksian itu tidak sah. Tapi ingat, itu keputusan hakim, kalau dari undang-undang, kesaksian itu tetap sah,” tegasnya.

Hakim, kata dia, mempunyai kewenangan untuk mencari second opinion yang berupa pemanggilan saksi ahli lain. “Kalau menolak kesaksian Suyanto, maka hakim bisa meminta pihak Bahasyim untuk menghadirkan saksi ahli lain yang lebih kredibel,” tandas­nya.

Mengenai terdakwa yang siap menggunakan azas pem­buktian terbalik dalam kasus pencucian uang ini, Asep menyatakan, menghadirkan saksi-saksi yang kompeten dan kredibel menjawab pertanyaan hakim tentu sangat dibutuhkan. “Banyak orang mengaku saksi ahli, tapi ketika di depan hakim tidak bisa menjawab dengan lugas dan jelas,” ucapnya.

Dosen hukum pidana ini menambahkan, penggunaan azas pembuktian terbalik dalam kasus pencucian uang sudah tepat. Sehingga, Bahasyim yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Bukan JPU yang harus membuktikan Bahasyim bersalah. “Itu pilihan bagus, sekarang tinggal buktikan saja kepada pengadilan kalau dia tidak salah,” ujarnya. [RM]

Rabu, 15 Desember 2010

Asing-Lokal Berebut Saham Mustika Ratu

Kabarnya, sekitar 3
0 persen saham Mustika Ratu Investama bakal dibeli pada harga Rp900.

Illustration of investment (Adri Prastowo)

VIVAnews - Saham PT Mustika Ratu Tbk (MRAT) kabarnya sedang d

iincar salah satu perusahaan produk konsumen ternama dan terbesar dalam negeri yang juga mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).

"Kabarnya, sekitar 30 persen saham Mustika Ratu bakal dibeli pada harga Rp900 per saham," kata sumber VIVAnews di Jakarta, Senin malam.
Sedangkan menurut sumber di Mustika Ratu, sejumlah investor lokal maupun asing sudah berulang kali menyatakan keinginannya untuk memiliki saham perusahaan produk kecantikan tersebut. Namun, hingga saat ini belum terjadi kesepakatan.

"Sudah banyak yang berminat dan memberi penawaran. Tapi, sampai saat ini belum ada yang terealisasi," ujar dia.

Dia menambahkan, selain belum ada kecocokan harga yang ditawarkan calon pembeli, Mustika Ratu merupakan perusahaan publik yang mayoritas sahamnya milik keluarga, sehingga lebih mengutamakan peningkatan kepemilikan dibanding dilepas ke pihak lain.

Sedangkan Putri Kuswisnu Wardhani, Vice President Director Mustika Ratu sampai berita ini diturunkan belum bisa dimintai konfirmasi, pesan singkat yang dikirim VIVAnews juga belum mendapatkan jawaban.

Sementara itu, Sancoyo Antarikso, sekretaris perusahaan PT Unilever Indonesia Tbk yang diisukan meminati saham Mustika Ratu mengaku belum mengetahui rencana itu. "Nggak, saya belum mendengar," ujar dia kepada VIVAnews.

Menurut dia, selama ini perseroan terus berupaya untuk tumbuh. Peluang untuk melakukan aksi korporasi seperti akuisisi dilakukan jika sesuai dengan strategi perseroan, sehingga memiliki nilai tambah. "Kami melihat sesuai opportunity yang ada," ujarnya.

Per 30 September 2010, Mellon Bank NA S/A Investors Pacific memiliki saham berkode MRAT sebesar 8,98 persen dan PT Mustika Ratu Investama sebesar 71,26 persen. Sedangkan sisanya dimiliki publik.

Pada perdagangan awal pekan ini, Senin 18 Oktober 2010 MRAT ditutup menguat Rp60 (11,11 persen) ke level Rp600. Namun, saat pembukaan transaksi hari ini, harga saham bergerak stagnan di posisi Rp600.

Seperti diketahui, kinerja keuangan perseroan pada paruh pertama 2010 relatif konservatif. Penjualan bersih hanya bertambah 3,2 persen dan laba bersih menebal 12 persen.

Pendapatan usaha emiten berkode MRAT ini sepanjang semester I-2010 naik tipis menjadi Rp168,29 miliar dari Rp163,16 miliar pada periode sama 2009. Laba kotor bertambah menjadi Rp94,09 miliar dari Rp90,86 miliar dan laba usaha mencapai Rp18,71 miliar dari sebelumnya Rp18,10 miliar.

Secara bottom line, laba bersih yang dibukukan hanya naik menjadi Rp11,77 miliar atau Rp28 per saham dari periode sama tahun sebelumnya Rp10,51 miliar atau setara Rp25 per saham. (art)

• VIVAnews

Proses Penyajian Neraca Awal

(Oleh: Jamason Sinaga, Ak., MAP*)

Penyajian neraca awal berbeda bagi yang sudah memiliki atau pernah memiliki neraca
sebelum terbitnya SAP atau Buletin Teknis Nomor 2. Bagi Pemda yang belum pernah
menyusun maka diperlukan langkah-langkah penyusunan neraca awal. Selanjutnya bagi
Pemda yang sudah memiliki neraca awal maka yang diperlukan adalah langkah-langkah
penyesuaian agar neraca yang sudah ada dapat sesuai dengan SAP atau Buletin Teknis
Nomor 2.
Langkah-langkah penyusunan neraca awal menurut Buletin Teknis Nomor 2 terdiri dari:

1. Menentukan ruang lingkup pekerjaan;
2. Menyiapkan formulir-formulir berikut petunjuk pengisiannya;
3. Memberikan penjelasan kepada tim yang akan melakukan penyusunan neraca awal;
4. Melaksanakan kegiatan pengumpulan data dan inventarisasi aset dan kewajiban;
5. Melakukan pengolahan data dan klasifikasi aset dan kewajiban sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan;
6. Melakukan penilaian aset dan kewajiban;
7. Menyajikan akun-akun asset, kewajiban dan ekuitas berikut jumlahnya dalam format neraca.

Langkah tersebut di atas lebih dimaksudkan untuk Pemda yang belum pernah menyusun
neraca awal. Di samping itu, langkah-langkah tersebut bersifat umum (totalitas Pemda)
dan belum membedakan penyusunan neraca awal berdasarkan sentralisasi (penyusunan
sekaligus di tingkat Pemda) dan desentralisasi (penyusunan di tingkat SKPD kemudian
digabungkan menjadi neraca awal Pemda). Seperti diungkapkan sebelumnya, Pemda
yang belum menyusun neraca sama sekali jumlahnya tidak banyak.

Untuk Pemda yang sudah menyusun neraca awal, yang dibutuhkan adalah cara
penyesuaian. Mengacu pada langkah tersebut di atas, maka langkah yang dapat dilakukan
untuk penyajian neraca awal bagi pemda yang sudah menyusun neraca awal atau
penyesuaian per 31 Desember 2006 adalah sebagai berikut:

1) Penyusunan Petunjuk Teknis Penyesuaian Neraca Awal;

Proses penyesuaian neraca awal dimulai dengan pembuatan petunjuk teknis.
Petunjuk teknis ini menjadi pedoman dan arahan dalam melakukan penyesuaian.
Petunjuk teknis ini merupakan pengejawantahan dari berbagai peraturan
perundangan dalam bentuk langkah konkrit yang harus dilakukan untuk dapat
menghasilkan neraca sesuai dengan berbagai ketentuan yang berlaku. Oleh karena
itu, didalam petunjuk teknis ini harus dimuat prosedur penyajian dan langkahlangkah termasuk formulir-formulir yang digunakan. Langkah-langkah yang jelas
dan cara pengisian formulir yang lengkap akan menyatukan persepsi di lapangan
sehingga memudahkan proses pelaksanaan penyesuaian neraca awal. Di dalam
petunjuk teknis juga harus ditegaskan cara penyajian yaitu apakah disajikan
berdasarkan SKPD terlebih dahulu kemudian digabungkan menjadi neraca awal
Pemda atau hanya sentralisasi yaitu neraca awal Pemda tanpa memperhatikan
SKPD. Penyajian pertama disajibkan oleh peraturan perundangan dan
memungkinkan dilakukannya penyusunan neraca SKPD pada akhir tahun 2007.


2) Pembentukan Tim Penyesuaian Neraca Awal;

Pekerjaan penyesuaian neraca awal dilakukan oleh sebuah tim bukan hanya oleh
biro/bagian keuangan. Pembentukan tim ini penting karena penyesuaian neraca
diharapkan akan memunculkan neraca di tingkat SKPD sehingga SKPD sendiri
harus terlibat didalamnya. Kemudian, nilai-nilai yang akan dicantumkan dalam
neraca membutuhkan pendapat atau pernyataan dari tim yang kompeten. Oleh
karena itu, dalam tim harus termasuk tim yang kompeten. Selanjutnya,
penyesuaian neraca awal menggunakan neraca awal yang sebelumnya telah
melibatkan dan selanjutnya juga akan melibatkan biro/bagian perlengkapan.

Artinya tim juga harus termasuk orang dari biro/bagian perlengkapan.
Penyajian atau penyesuaian neraca membutuhkan orang yang kompeten di bidang
akuntansi. Hasil inventarisasi dan pengamatan yang dilakukan atas aset dan
kewajiban dimaksudkan untuk disajikan dalam neraca sehingga perlu ada orang
yang kompeten di bidang akuntansi khususnya akuntansi pemerintahan. Secara 17
ringkas dapat dikemukakan bahwa dalam penyesuaian neraca ini harus ada tim
yang berasal dari biro/bagian keuangan, biro/bagian perlengkapan, pihak yang
kompeten di bidang aset dan pihak yang kompeten di bidang akuntansi, dan juga
tim dari SKPD yang bersangkutan. Komposisi semacam ini akan memungkinkan
pekerjaan dilakukan secara terarah, efektif, dan efisien.


3) Penjelasan Teknis Pelaksanaan kepada Tim;

Tim penyesuaian neraca awal seperti yang disebut sebelumnya berasal dari
berbagai pihak. Latar belakang pengetahuan dan kompetensinya juga berbeda.
Untuk itu perlu adanya penyamaan persepsi tentang pekerjaan yang dilakukan dan
pengaturan mengenai teknis pekerjaan. Dalam langkah ini juga temasuk
penjelasan mengenai formulir yang digunakan dan mekanisme pengisian formulir.
Pemahaman mengenai lingkup pekerjaan masing-masing juga perlu dijelaskan
sehingga pekerjaan dapat dilakukan dengan baik.


4) Pelaksanaan Inventarisasi Aset dan Kewajiban;

Langkah berikutnya adalah pelaksanaan inventarisasi fisik dan/atau dokumen.
Langkah ini merupakan pengumpulan data untuk keperluan penyesuaian neraca
awal. Inventarisasi dilakukan dengan menggunakan formulir yang telah
dipersiapkan. Inventarisasi dapat dilakukan dengan menginventarisasi dokumen
atau fisik. Langkah inventarisasi ini merupakan tahapan yang memakan waktu
yang paling lama dari seluruh kegiatan penyajian neraca.


5) Pengolahan Data Hasil Inventarisasi;

Data yang diperoleh dari inventarisasi kemudian akan diolah. Pengolahan data ini
berupa penggolongan atau pengelompokan data hasil inventarisasi sesuai dengan
kebutuhan. Data yang tersebar di setiap formulir harus diklasifikasi menurut
ketentuan Buletin Teknis No. 2 sehingga memudahkan penyusunan neraca awal.
Hasil dari kegiatan ini adalah tersajinya data menurut penggolongan sesuai
Buletin Teknis Nomor 2.


6) Pembandingan dan Penyesuaian Data Hasil Inventarisasi dengan Neraca Awal yang sudah Ada;

Informasi yang disajikan dari hasil pengolahan data sebelumnya merupakan dasar
penyesuaian. Penyesuaian dilakukan dengan membandingkan neraca yang telah
ada dengan informasi dari hasil pengolahan data sebelumnya. Pembandingan ini
dilakukan agar dapat dihasilkan koreksi/penyesuaian nilai dari hasil yang
diperoleh dengan neraca yang telah ada sebelumnya.


7) Pembuatan Jurnal Penyesuaian dan Penyajian Aset, Kewajiban, dan Ekuitas dalam Format Neraca.

Langkah terakhir adalah melakukan koreksi atas neraca yang sudah ada. Dari
langkah sebelumnya telah diperoleh selisih antara pos neraca hasil inventarisasi
dengan yang pos yang telah ada sebelumnya. Selisih ini akan menjadi koreksi
dengan menggunakan jurnal-jural koreksi. Dari langkah ini akan dihasilkan
neraca awal yang sudah dikoreksi. Dari langkah ini juga akan diperoleh saldo
awal baru untuk diikuti selama tahun 2007 untuk dapat dilakukan penyusunan
neraca sebagai bagian dari pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran tahun
2007.

Mekanisme Penyajian Neraca Awal (Pemda)

(Oleh: Jamason Sinaga, Ak., MAP*)

Penyusunan dan penyesuaian neraca awal mengandung beberapa permasalahan yaitu:

1. Penyajian di tingkat Pemda atau SKPD;

2. Inventarisasi fisik atau dokumen;

3. Penyajian neraca sekaligus atau bertahap;

4. Penilaian aset dengan perusahaan penilai (appraisal).

1. Neraca Pemda dan Neraca SKPD

Neraca wajib disajikan oleh Pemda sebagai komponen dari laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun. Akan tetapi bukan hanya Pemda secara keseluruhan yang wajib menyusun neraca. Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) juga diwajibkan menyusun neraca. SKPD juga wajib menyusun laporan keuangan sesuai dengan SAP. Perbedaannya terletak pada maksud dan ruang lingkup. Pemda menyusun laporan keuangan untuk disampaikan kepada DPRD sebagai pertanggung jawaban, sementara itu kepala SKPD menyusun laporan keuangan yang disampaikan kepada kepala daerah untuk digabungkan menjadi laporan keuangan Pemda secara keseluruhan. Dari sisi ruang lingkup, Pemda menyajikan empat komponen laporan keuangan secara lengkap sedangkan SKPD hanya menyajikan tiga jenis laporan keuangan yaitu neraca, laporan realisasi anggaran, dan catatan atas laporan keuangan. Komponen laporan keuangan berupa laporan aliran kas hanya disusun oleh kepala daerah c.q bendahara umum daerah.

Neraca Pemda merupakan penggabungan dari seluruh neraca SKPD. Oleh karena itu, penyesuaian neraca SKPD sekaligus juga merupakan bagian dari penyesuaian neraca 9 Pemda secara keseluruhan. Demikian juga halnya dengan penyusunan neraca awal atau penyesuaian neraca awal. Penyesuaian seharusnya dilaksanakan di tingkat SKPD kemudian digabungkan sehingga diperoleh neraca gabungan yang akan menjadi neraca Pemda.

Sebagian Pemda yang sudah menyusun neraca awal, penyusunannya dilakukan dengan cara sentralisasi. Neraca tersebut dibuat di biro/bagian keuangan tanpa diketahui atau tidak dipisahkan menurut SKPD. Neraca tersebut bukan gabungan dari yang ada di setiap SKPD. Cara seperti ini akan menemui kesulitan ketika angka neraca yang disusun secara sentralisasi tadi akan disajikan menurut atau masingmasing SKPD.

2. Inventarisasi Fisik atau Dokumen

Penyusunan neraca merupakan suatu proses pengumpulan data aset dan kewajiban untuk dilakukan penggolongan, pengukuran, dan pengungkapan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP). Data mengenai aset dapat berupa dokumen yang membuktikan keberadaannya atau fisik aset yang bersangkutan. Pengumpulan data ini dalam Buletin Teknis Nomor 2 diistilahkan dengan inventarisasi.

Menurut Buletin Teknis, inventarisasi dapat dilakukan terhadap dokumen dan juga fisik. Akan tetapi persoalan yang timbul adalah apakah inventarisasi harus dilakukan terhadap kedua jenis bukti yang menunjukkan adanya aset? Dapatkah inventarisasi dilakukan hanya atas dokumen saja? Seharusnya memang dokumen dan fisik itu menunjukkan hal yang sama. Akan tetapi untuk membandingkan antara fisik dan dokumen sebenarnya sudah merupakan prosedur audit yang sudah berada di luar langkah penyajian neraca awal. Atau kemungkinan lainnya ditentukan prioritas terlebih dahulu. Misalnya jika dokumen dapat menunjukkan atau memberikan informasi yang lengkap mengenai aset yang bersangkutan maka tidak perlu dilakukan inventarisasi fisik. Pilihan lainnya, jika dokumen tidak memberikan informasi yang lengkap maka terhadap kekurangan informasi tersebut mungkin dapat diperoleh dari inventarisasi fisik. Misalnya saja untuk menentukan masa manfaat aset yang 10 bersangkutan dapat dilihat dari dokumen spesifikasi teknis oleh pihak yang kompeten dan jika informasi yang diperoleh belum cukup maka dapat dilakukan cara dengan melihat fisiknya. Atau pilihan lainnya, hanya pihak yang kompeten yang bersangkutan yang melihat aset dimaksud dan memberikan informasi. Jadi tidak perlu seluruh tim ikut melakukan inventarisasi setiap jenis aset kalau memang diperlukan infomasi dengan melihat fisik.

Permasalahan apakah inventarisasi fisik dan atau dokumen ini menjadi penting dan krusial karena neraca menunjukkan satu titik waktu atau tanggal tertentu sedangkan inventarisasi tidak mungkin dilakukan dalam satu titik waktu atau satu hari. Oleh karena itu jika harus dilakukan inventarisasi fisik dan dokumen sekaligus maka tidak mungkin dilakukan. Contoh, akun kas di kas daerah. Jika ditentukan tanggal neraca adalah 1 Januari 2006 apakah mungkin dilakukan inventarisasi fisik seluruh kas pada saat tersebut dengan membuat register penutupan kas? Tanggal 1 Januari adalah hari libur sehingga hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Atau jika pada tanggal 10 Januari 2007 dilakukan penyajian neraca per 31 Desember 2006, apakah mungkin dilakukan opname fisik kas per tanggal 31 Desember 2006 dengan membuat berita acara atau register penutupan kas? Inventarisasi fisik tanggal 10 Januari 2007 tidak mungkin dilakukan untuk posisi 31 Desember 2006, lantas apakah tidak dapat disusun neraca pada tanggal 31 Desember 2006? Penyajian neraca per 31 Desember 2006 tetap dapat dilakukan. Data diperoleh dari dokumen yang menunjukkan posisi kas per tanggal 31 Desember 2006 dan tidak perlu dilakukan inventarisasi fisik kas. Memang bisa dilakukan opname fisik kas per 10 Januari 2007 kemudian ditarik mundur ke 31 Desember 2006 tetapi ini sudah memasuki prosedur audit untuk meyakinkan posisi kas per tanggal 31 Desember 2006 bukan lagi proses penyusunan neraca itu sendiri.

Contoh lainnya mengenai persediaan. Inventarisasi fisik persis per tanggal neraca untuk keseluruhan persediaan juga sangat mustahil dilakukan apalagi jumlah persediaan sangat besar seperti persediaan obat-obatan. Inventarisasi yang dapat dilakukan untuk menghasilkan saldo akun persediaan bukan terhadap dokumen-11 dokumen pembeliannya tetapi dokumen yang menunjukkan posisi per tanggal tertentu. Informasi tersebut dapat diperoleh dari dokumen kartu gudang masingmasing jenis persediaan sehingga dapat diketahui saldo masing-masing jenis per tanggal 31 Desember. Dalam kondisi demikian apakah masih dilakukan inventarisasi fisik kemudian ditarik mundur ke tanggal neraca atau cukup dari catatan kartu gudang. Jika harus diakukan inventarisasi fisik dan ternyata fisik tidak sesuai dengan dokumen pendukungnya, informasi mana yang harus digunakan? Data dari dokumen atau fisik? Atau ditunggu sampai ada penyelesaian baru disusun neraca?

Contoh berikutnya mengenai aset tetap tanah. Misalnya sertifikatnya sudah ada dan tercatat dalam kartu inventaris barang (KIB), nilai jual obyek pajak (NJOP) juga ada. Apakah perlu diinventarisasi lagi fisiknya dengan mengukur luas tanah dengan membandingkan luasan yang ada di sertifikat dengan fisiknya? Atau inventarisasi fisiknya hanya dengan tengak-tengok (observasi) saja tanpa mengukur? Itu namanya bukan inventarisasi fisik. Untuk mengukur kembali dan membandingkan ukuran fisik dengan informasi yang ada di sertifikat, misalnya mengenai luas tanah, tidak mungkin dilakukan. Itu sudah berada di luar kewenangan tim teknis. Bagaimana kalau kita menggunakan dokumen sertifikat ternyata sertifikat tersebut palsu, apakah tim inventarisasi tidak dipersalahkan nantinya? Itu terlalu jauh. Penyajian aset dalam neraca tidak memberikan jaminan segala-galanya, fisiknya ada, dokumen pendukung ada, dokumen pendukung asli, tidak ada tuntutan atas aset dan lain sebagainya. Jadi, dalam melakukan penyusunan neraca untuk pos yang ada dokumen dan fisiknya yang digunakan hanya data dari dokumennya saja. Kalau dalam dokumen tersebut ada informasi yang belum tercakup, dapat dimintakan kepada pihak yang kompeten dengan membuatkan formulir untuk diisi. Formulir tersebut kemudian dikumpulkan untuk penyajian neraca.

3. Penyusunan Neraca Awal Sekaligus atau Bertahap

Penyusunan naraca awal atau penyesuaian dapat dilakukan secara bertahap. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa untuk menyusun neraca awal memerlukan waktu yang 12 lama sehingga tidak mungkin dilakukan hanya dalam satu bulan misalnya. Perlu dijelaskan lebih lanjut pengertian bertahap. Pengertian bertahap bisa saja pengerjaan dilakukan di unit A terlebih dahulu kemudian dilakukan di unit B, setelah itu di unit C dan seterusnya. Atau bisa juga dilakukan penyajian kas terlebih dahulu dibenahi, kemudian mengenai piutang, selanjutnya mengenai investasi, kemudian aset tetap. Atau bahkan mungkin karena asset tetap yang mengandung banyak permasalahan maka penyajian asset tetap dilakukan bertahap dalam neraca. Misalnya tahun 2006 hanya masalah tanah yang disajikan, tahun 2007 masalah gedung, tahun 2008 masalah jalan dan jembatan dan seterusnya.

Neraca menunjukkan posisi pada saat tertentu. Jika penyusunan dilaksanakan secara bertahap, posisi tanggal berapa neraca awal yang sesuai dengan SAP disajikan?

Apakah mungkin, penyesuaian kas dan piutang per 31 Desember 2006 dilakukan sementara penyesuaian untuk investasi dan asset tetap dilakukan per 31 Desember 2007? Atau penyesuaian asset tetap berupa tanah dilakukan tanggal 31 Desember 2006 sedangkan penyesuaian asset tetap berupa jalan dan jembatan dilakukan tanggal 30 Juni 2007? Atau kondisi bertahap lainnya, apakah mungkin unit A menyajikan neraca atau menyesuaikan neraca per 31 Desember 2006 sedangkan unit B tahun 2007 dan unit C tahun 2008? Jika demikian, kapan neraca awal dapat dikatakan sesuai dengan SAP? Hal tersebut tidak mungkin dilakukan.

Dalam rangka penyajian neraca awal harus ditentukan satu tanggal untuk penyusunan neraca atau penyesuaian neraca yang digunakan sebagai titik tolak. Misalnya jika ditentukan tanggal 31 Desember 2006 sebagai titik penyusunan atau penyesuaian maka seluruh proses harus didasarkan pada tanggal 31 Desember 2006. Inventarisasi dapat dilakukan sepanjang tahun 2007 tetapi untuk posisi per 31 Desember 2006. Penilaian aset dapat dilakukan tahun 29 Juli 2007 tetapi untuk posisi per 31 Desember 2006. Dengan demikian, pengerjaan neraca dapat dilakukan sepanjang tahun 2007 tetapi untuk posisi per tanggal per 31 Desember 2006 sehingga dapat dilakukan penyesuaian neraca per 31 Desember 2006.

4. Penilaian Aset dengan Perusahaan Penilai (Appraisal)

Dalam audit BPK atas laporan keuangan Pemda tahun 2005 ada terungkap bahwa asset belum wajar karena belum dilakukan penilaian oleh perusahaan penilai independen. Pertanyaannya adalah, apakah penilaian asset harus dilakukan oleh perusahaan penilai yang independen? Kalau ya, apakah harus seluruhnya atau hanya sebagian saja? Data atau informasi apa yang dibutuhkan untuk penyajian asset dalam neraca dan apakah data atau informasi tersebut seluruhnya dapat disajikan oleh penilai independen?

Unsur-unsur atau pos-pos neraca secara garis besar terdiri dari kas, persediaan, piutang, investasi, aset tetap, aset lainnya, kewajiban, dan ekuitas. Perusahaan penilai tidak melakukan penilaian atas keseluruhan pos yang disebut di atas karena memang tidak seluruhnya memerlukan penilaian perusahaan penilai. Pos yang biasanya dilakukan penilaian adalah asset tetap. Kewajiban dan ekuitas bahkan sama sekali tidak ada kewenangan perusahaan penilai untuk menentukan nilainya. Oleh karena itu tidak seluruh pos neraca dapat diperoleh nilainya dengan melakukan penilaian oleh perusahaan penilai.

Informasi yang dibutuhkan untuk penyajian asset khususnya asset tetap di neraca adalah mengenai pengklasifikasian asset, nilai, dan umur ekonomis/manfaat. Pengklasifikasian ini diperlukan agar klasifikasi asset menurut teknis dan klasifikasi menurut standar akuntansi dapat cocok. Misalnya, dalam klasifikasi asset tetap di neraca terdapat pos/akun Jalan, Jaringan, dan Irigasi. Jalan dapat terdiri dari berbagai jenis misalnya jalan kabupaten, provinsi, atau jalan negara. Irigasi juga terdiri dari berbagai tipe misalnya irigasi primer, tersier dan seterusnya. Meskipun Jalan, Jaringan, dan Irigasi digabung dalam satu pos, rincian masing-masing harus tetap disajikan. Disinilah arti penting pengklasifikasian jalan menurut pengertian teknis. Pengklasifikasian seperti ini tidak dapat disajikan oleh perusahaan penilai karena pengklasifikasian menurut tata cara penilaian berbeda dengan penilaian menurut pihak yang kompeten atau pihak yang berwenang.

Nilai diperlukan karena akuntan tidak mempunyai keahlian dalam menetapkan harga aset khususnya aset yang sudah lama diperoleh. Misalnya nilai untuk bangunan yang sudah diperoleh dua puluh tahun yang lalu dan masih digunakan sampai dengan saat ini. Contoh lainnya misalnya, berrapa nilai jembatan yang dibangun sejak jaman Belanda dan sampai saat ini masih berfungsi. Nilai seperti yang dimaksudkan ini menjadi fokus utama pekerjaan perusahaan penilai. Untuk aset yang baru diperoleh dapat dinilai dengan nilai perolehan berdasarkan bukti yang ada dan tidak perlu ada penilaian dari pihak lain. Misalnya gedung yang baru dibangun satu tahun yang lewat maka dokumen pendukung bukti perolehan masih ada sehingga dapat digunakan sebagai dasar penilaian.

Masa manfaat atau umur ekonomis diperlukan untuk menentukan besarnya penyusutan di masa yang akan datang. Aset tetap kecuali tanah dan konstruksi dalam pengerjaan harus disusutkan berdasarkan SAP. Dalam rangka penyusutan harus diketahui masa manfaat aset yang bersangkutan dan masa manfaat ini hanya dapat ditentukan oleh pihak yang kompeten. Misalnya, gedung yang diperoleh atau dibangun sepuluh tahun yang lalu berapa tahun lagi masa manfaatnya? Jika masa manfaatnya hanya lima tahun lagi maka penyusutan gedung tersebut dihitung berdasarkan masa manfaat lima tahun tersebut. Perusahaan penilai tidak kompeten dalam menentukan masa manfaat atau umur ekonomis seperti ini. Jadi dari tiga informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan neraca, hanya satu yang dapat disediakan oleh perusahaan penilai independen. Buletin Teknis Nomor 2 tidak mewajibkan aset dinilai oleh perusahaan penilai. Penilaian aset khususnya aset tetap dengan cara appraisal bukan semata-mata dilakukan oleh perusahaan penilai yang independen. Akan tetapi penilaian dapat juga dilakukan oleh tim yang berwenang yang kompeten. Buletin Teknis No. 2 sangat hati-hati dalam menggunakan istilah perusahaan penilai (appraisal) dengan menyatakan bahwa harus dipertimbangkan antara biaya dan manfaat yang diperoleh dari penilaian seperti itu.

sumber: http://www.ksap.org

Penentuan Tanggal Penyajian Neraca Awal Pemda

Oleh: Jamason Sinaga, Ak., MAP

Bagi Pemda yang sudah menyusun neraca awal sebelum berlakunya SAP wajib
melakukan penyesuaian. Hal ini dilakukan agar neraca awal yang sudah pernah dibuat
menjadi sesuai dengan SAP. Penyesuaian dilakukan dengan menerapkan Buletin
Teknis No. 2.

Mekanisme penyusunan neraca awal menurut Buletin Teknis Nomor 2 adalah dengan
menentukan tanggal penyajian neraca awal. Penentuan tanggal berarti menentukan 7
posisi keuangan yang harus disajikan sesuai dengan Buletin Teknis tersebut. Apabila
tanggal telah ditentukan maka seluruh proses yang dilakukan menggunakan tanggal
tersebut sebagai titik tolak baik untuk menyusun neraca awal maupun melakukan
penyesuaian.

Akan tetapi Buletin Teknis No. 2 tidak menentukan tanggal penyajian neraca awal.
Pemda bebas menentukan tanggal penyusunan maupun penyesuaian. Tanggal penyajian
ini bisa saja dipilih tanggal 31 Desember 2005 atau tanggal 28 Februari 2006 dan suatu
tanggal yang lain. Yang penting diperhatikan adalah dasar atau alasan yang dapat
diterima atas pemilihan tanggal penyajian dan konsekwensinya.
Neraca adalah laporan yang menunjukkan posisi keuangan pada saat tertentu. Neraca
awal sama dengan neraca pada umumnya menunjukkan posisi keuangan.
Pertanyaannya, posisi keuangan neraca awal yang disesuaikan ini tanggal berapa? Ada
beberapa pilihan, tanggal 1 Januari 2006 dapat dipilih karena merupakan awal tahun
anggaran. Salah satu tanggal sepanjang tahun 2006, misalnya tanggal 29 Maret, juga
dapat dipilih karena Buletin Teknis Nomor 2 tidak melarang. Pilihan tanggal 31
Desember juga dapat dilakukan karena memang tanggal tersebut merupakan tanggal
penyusunan laporan keuangan untuk pertanggung jawaban pelaksanaan anggaran tahun
2006.

Jika dipilih penyajian neraca awal tanggal 1 Januari 2006 maka akan ada pekerjaan
penyusunan neraca tersendiri lepas dari penyusunan komponen laporan keuangan
lainnya. Demikian juga halnya jika dipilih salah satu tanggal di antara tanggal selain
tanggal 31 Desember 2006. Penyusunan selain tanggal 1 Januari 2006 dan tanggal 31
Desember 2006 mengakibatkan periode penyajian komponen laporan keuangan lainnya
menjadi tidak satu tahun. Oleh karena itu jika ingin disajikan keempat komponen
laporan keuangan secara bersamaan dengan tanggal penyesuaian neraca awal maka
tanggal yang dipilih hanya satu yaitu tanggal 31 Desember 2006. Pemilihan tanggal ini
berarti penyesuaian neraca awal mengikuti proses penyusunan laporan keuangan yang
sedang berjalan. Neraca disusun per 31 Desember 2006, penyesuaian neraca awal ini 8
pun dapat dilakukan per 31 Desember 2006. Hal ini dilakukan agar laporan keuangan
tahun 2006 telah disajikan sesuai dengan SAP dan saldo awal tahun 2007 juga sesuai
dengan SAP. Penyesuaian neraca awal per 31 Desember 2006 juga mudah dilakukan
karena datanya masih up to date dan pekerjaan penyesuaian neraca awal dapat
dilakukan bersamaan dengan penyusunan neraca untuk pertanggung jawaban keuangan
tahun anggaran 2006.

Penyajian Neraca Awal dan Komponen Laporan Keuangan Pemda

(Oleh: Jamason Sinaga, Ak., MAP

Laporan keuangan yang berupa neraca, laporan realisasi anggaran, laporan aliran kas,
dan catatan atas laporan keuangan memberikan gambaran atau informasi keuangan
Pemda selama satu periode. Satu periode waktu berarti berada di antara dua posisi
waktu. Misalnya periode satu tahun berada diantara posisi 1 Januari dan 31 Desember.
Neraca menunjukkan posisi keuangan pada saat tertentu, laporan realisasi anggaran
menunjukkan penerimaan dan pengeluaran selama periode tertentu, laporan arus kas
menunjukkan arus masuk dan keluar kas selama satu periode, dan catatan atas laporan
keuangan mengungkapkan informasi yang menjelaskan ketiga jenis laporan tadi
ditambah dengan informasi lain.

Berdasarkan pemikiran di atas, jika sebuah Pemda ingin menyajikan laporan keuangan
pelaksanaan APBD tahun 2007 maka harus ada atau dapat mengidentifikasi posisi 3
keuangan per tanggal 1 Januari 2007, penerimaan dan pengeluaran keuangan selama
tahun 2007, dan arus masuk dan keluar kas selama tahun 2007. Posisi keuangan pada
tanggal 1 Januari 2007 dapat diperoleh dari Neraca yang telah disajikan tanggal 31
Desember 2006. Posisi keuangan awal periode 2007 dapat disajikan dari neraca per 31
Desember 2006 karena saldo-saldo per 31 Desember 2006 menjadi saldo awal pada
tanggal 1 Januari 2007. Transaksi keuangan selama tahun 2007 berupa penerimaan dan
pengeluaran selama tahun 2007 akan disajikan dalam laporan realisasi anggaran akhir
tahun 2007. Dari transaksi keuangan tahun 2007 dan saldo awal akan dapat dihasilkan
neraca per 31 Desember 2007. Arus masuk dan keluar kas selama tahun 2007 akan
disajikan dalam laporan arus kas. Penjelasan atau pengungkapan atas ketiga laporan
tersebut disajikan dalam catatan atas laporan keuangan. Dengan demikian pada akhir
tahun 2007 dapat disajikan empat komponen laporan keuangan yaitu Neraca, Laporan
Realisasi APBD, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2007 dimulai dengan adanya posisi
keuangan awal tahun 2007. Posisi keuangan ini dapat diperoleh dari neraca per 31
Desember 2006. Bagi Pemda yang sudah menyusun laporan pertanggung jawaban
secara lengkap untuk tahun anggaran 2006, neraca per 31 Desember 2006 sudah
termasuk didalamnya. Artinya, Pemda yang sudah memiliki neraca per 31 Desember
2006 akan memiliki posisi awal keuangan tahun 2007. Pertanyaannya adalah, apakah
neraca per 31 Desember 2006 sudah disajikan dengan benar sehingga dapat digunakan
menjadi saldo awal yang benar untuk penyajian laporan keuangan tahun 2007?

Neraca per 31 Desember 2006 merupakan saldo dari transaksi keuangan sepanjang
tahun 2006 dan saldo awal tahun 2006. Saldo awal tahun 2006 diperoleh dari saldo
neraca akhir tahun 2005. Saldo akhir tahun 2005 berasal dari transaksi sepanjang tahun
2005 dan saldo awal tahun 2005. Saldo awal tahun 2005 diperoleh dari saldo akhir
tahun 2004 demikian seterusnya sehingga sampai kepada neraca awal atau neraca yang
pertama kali dibuat oleh Pemda yang bersangkutan. Dengan kata lain, neraca yang akan
dibuat tahun 2007 akan benar jika neraca awal yaitu neraca yang pertama kali dibuat
sudah benar.

Neraca yang pertama kali disusun ini berbeda-beda bagi setiap Pemda. Ada yang sudah
menyusun neraca awal sejak tahun 2001 dan ada juga setelah tahun 2001. Akan tetapi
tidak ada Pemda yang menyusun neraca awal sebelum tahun 2001 karena kewajiban
penyusunan neraca diwajibkan sejak tahun 2001 berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 105 Tahun 2000. Akan tetapi mungkin juga ada Pemda yang belum pernah
menyusun neraca sama sekali sampai dengan tahun 2006 tetapi jumlahnya relatif kecil
kalau tidak boleh dikatakan tidak ada.

Laporan keuangan yang disajikan harus sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan
(SAP). Penyajian posisi keuangan, penerimaan dan pengeluaran, arus masuk dan keluar
kas serta pengungkapan lainnya harus sesuai dengan SAP. Posisi awal keuangan yang
telah dituangkan dalam neraca awal juga harus sesuai dengan SAP.
SAP ditetapkan pada tanggal 13 Juni 2005 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2005. SAP ini dinyatakan berlaku untuk pelaporan keuangan tahun anggaran
2005. Sementara itu sejak tahun 2001 sudah ada Pemda yang menyusun neraca awal
dan membuat laporan pertanggungjawaban anggaran dalam bentuk yang hampir sama
dengan yang dipersyaratkan dalam SAP. Khusus untuk penyajian neraca awal Pemda
diatur lebih lanjut dalam Buletin Teknis Nomor 2 mengenai penyajian neraca awal
pemerintah daerah yang merupakan penjabaran dari SAP khusus mengenai penyajian
neraca awal.

Bagi Pemda yang belum menyusun neraca awal, maka Buletin Teknis Nomor 2 dapat
diterapkan dengan menyusun neraca awal seperti yang diatur dalam Buletin Teknis
tersebut. Akan tetapi bagi Pemda yang sudah menyusun neraca awal sebelum adanya
Buletin Teknis Nomor 2 atau menyusun neraca awal setelah tahun 2005 tetapi belum
menggunakan Buletin Teknis Nomor 2, apa yang harus dilakukan?
Buletin Teknis Nomor 2 mengatur bahwa untuk Pemda yang sudah menyusun neraca
awal harus melakukan penyesuaian menurut Buletin Teknis tersebut. Yang menjadi 5
pertanyaan adalah bagaimana cara melakukan penyesuaian dan posisi per tanggal
berapa dilakukan penyesuaian?
Sebagaimana disebutkan di atas, sebagian besar Pemda sudah menyusun Neraca Awal
(NA) bahkan ada yang sudah menyusun sejak tahun 2001. Neraca awal tersebut bahkan
sudah dikukuhkan dalam bentuk peraturan daerah dan mungkin telah diaudit. Bagi
Pemda yang sudah menyusun neraca awal timbul pertanyaan:

1. Apakah neraca awal yang telah disusun tersebut dapat digunakan?
2. Atau apakah harus dibuat neraca awal baru?
3. Apakah mungkin neraca awal yang disusun tahun 2001 sudah sesuai dengan
SAP sehingga tidak perlu disesuaikan?
4. Jika neraca awal sudah ada tetapi kemudian dilakukan penyesuaian bukankah
berarti bahwa neraca awal menjadi dua?

Buletin Teknis Nomor 2 sebagai dasar penyusunan neraca awal sesuai SAP tidak
menyatakan bahwa neraca yang telah disusun sebelum terbitnya SAP tidak dapat
digunakan. Di halaman 6 Buletin Teknis Nomor 2 disebutkan bagi Pemda yang telah
mempunyai neraca yang disusun sebelum terbitnya Peraturan Pemerintah tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan dapat melakukan koreksi dan perbaikan dengan
mengacu pada Buletin Teknis ini. Dengan kata lain neraca awal yang telah ada dapat
digunakan tetapi harus dilakukan koreksi atau perbaikan.

Neraca awal yang telah dikoreksi tidak berarti neraca awal baru akan tetapi disajikan
dengan cara yang baru sesuai dengan acuan yang seharusnya yaitu SAP. Pendekatan
yang dapat dilakukan untuk melakukan perbaikan neraca awal ada dua. Pertama, saldosaldo akun dalam neraca awal ditambah/kurang dengan mutasi lalu diperoleh saldo
akhir per tanggal penyesuaian. Misalnya jika sebuah Pemda sudah memiliki neraca
awal tahun 2002 maka saldo tahun 2002 ditambah/kurang dengan mutasi tahun 2003,
2004, 2005, dan 2006 maka akan diperoleh nilai akhir tahun 2006. Kelemahannya,
saldo awal tahun 2002 tetap tidak terkoreksi, karena dalam pendekatan seperti ini
sebenarnya tidak ada koreksi terhadap saldo awal. Dalam kondisi seperti ini tidak perlu 6
Buletin Teknis Nomor 2. Pendekatan kedua, pada akhir tahun 2006, yang dipilih
sebagai tanggal penyajian neraca awal setelah koreksi, dilakukan penyusunan neraca
dengan mengidentifikasi seluruh pos-pos neraca dengan demikian akan dihasilkan
neraca akhir tahun 2006. Saldo-saldo pos yang ada berdasarkan neraca awal tahun 2002
dan mutasi sampai dengan tahun 2006 akan dibandingkan dengan saldo yang diperoleh
dari neraca yang disusun akhir tahun 2006 tadi. Selisihnya akan merupakan koreksi.
Dengan demikian akan diperoleh neraca akhir tahun 2006 yang telah mengakomodasi
perbaikan atau koreksi sesuai dengan SAP.

Neraca awal yang disusun sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan dapat dipastikan tidak sesuai dengan SAP. Mungkin saja satu
atau dua pos telah sesuai dengan SAP apakah itu dapat dikatakan telah sesuai dengan
SAP? Pos atau akun Kas di Kas Daerah yang disajikan tahun 2001, misalnya, tidak
banyak berbeda dengan atau kalau disajikan menurut SAP. Nilai yang dicantumkan
adalah nilai nominal. Apakah karena pos Kas di Kas Daerah penilaiannya sudah sama
dengan SAP dapat dikatakan bahwa neraca awal telah sesuai dengan SAP?
Penyajian neraca awal sesuai dengan Buletin Teknis Nomor 2 menuntut adanya
penyesuaian. Dari hasil penyesuaian akan diperoleh neraca yang sudah mengakomodasi
persyaratan SAP. Dengan demikian, yang ada adalah neraca awal dan neraca yang
sudah disesuaikan. Dalam kondisi demikian tidak dapat dikatakan bahwa neraca awal
menjadi dua.