Tampilkan postingan dengan label d4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label d4. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Agustus 2016

AMNESTY KALA TRANSISI BAMBANG DAN SRI


Kementerian Keuangan sedang menjalankan gawe besar tahun ini. Tax amnesty yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang pengampunan Pajak, memerlukan perhatian sangat besar tidak hanya dari Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas Pajak di indonesia, tetapi seluruh kementerian Keuangan, karena program ini menjadi pertaruhan pemerintahan Joko Widodo dengan APBN yang lebih dari 2.000 trilun rupiah. Di saat hajat besar berjalan, pergantian pucuk pimpinan di kementerian tiba-tiba berubah. Bagaimana nasib program besar ini?

Hari Rabu, tanggal 27 Juli 2016, Presiden Joko Widodo kembali mengumumkan pergantian antar menteri di kabinet kerja periode 2014-2019. Ada 13 posisi jabatan yang mendapatkan nakhoda baru. Dari 13 jabatan tersebut 9 diantaranya diisi oleh nama-nama baru. Yang menarik adalah kembalinya Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan yaitu jabatan yang pernah diembannya pada masa Pemerintahan Presiden SBY. Kondisi kementerian keuangan sekarang tentu saja sudah sangat berbeda dengan kondisi dimana Sri Mulyani menjabat dulu. Pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat agresif dalam melakukan kebijakan ekonominya, baik bidang fiskal maupun moneter. Dari awal pemerintahan sampai sekarang, tidak kurang ada 12 kebijakan paket ekonomi yang dikeluarkan. Dan yang paling hit sekarang adalah tax amnesty yang digaungkan untuk membiayai APBN 2016. Tentunya program ini harus terlaksana dengan baik untuk mencapai target penerimaan pajak.

Pemilihan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan yang baru menggantikan Bambang Brodjonegoro menjadi sangat beralasan, dimana dibutuhkan sosok yang mampu mengendalikan reformasi birokrasi yang dimulainya dulu, setidaknya dua setengah tahun kedepan sampai akhir masa jabatan. Dengan latar belakang profesional akademik, Sri Mulyani mempunyai exposure pengetahuan yang cukup luas baik di dalam lingkup nasional maupun internasional dibuktikan dengan pernah menjabat sebagai Managing Director dan Chief Operating Officer di Bank Dunia. Dari segi politis, perseteruannya dengan Partai Golkar cenderung memudar, karena Partai berlambang pohon beringin itu telah menggabungkan diri dengan koalisi pro pemerintah, dan telah terjadi pergantian kepemimpinan di dalamnya. Seperti kita ketahui kedua belah pihak pernah berpolemik pada kasus Bank Century.

Tax Amnesty sebagai program unggulan 2016 mempunyai banyak tantangan yang harus diselesaikan, baik dari dalam negeri maupun dari dunia internasional. Ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan kebijakan ini dan melayangkan gugatan uji materi (judicial review) terhadap Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, karena dinilai adanya pelanggaran terhadap aturan lainnya. Tantangan dari negara lain berupa adu kuat tarik menarik kebijakan pajak. Negara tempat orang kaya Indonesia menimbun harta, juga mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan bagi pemilik modal.

Dalam RAPBNP 2016, pemerintah menaruh target penerimaan dari rencana kebijakan tax amnesty sekitar Rp165 triliun. Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah harus merepatriasi uang dengan jumlah yang sangat besar. Dengan perhitungan konservatif, misalnya rata-rata rasio pajaknya kita ambil 4% maka dana yang harus masuk lebih dari Rp4.000 triliun. Tugas yang sangat berat.

Pergantian Kepemimpinan

Dalam dunia swasta, pergantian pemimpin mempunyai dampak yang cuku signifikan terhadap pencapaian target perusahaan. Lopez-de-Silanes (1997) dalam Ayu Novi Trisnantari (2007) menemukan adanya hubungan positif antara pergantian CEO dengan market value BUMN yang diprivatisasi. Barberis et al. (1996) menyatakan bahwa kompetensi CEO merupakan faktor yang sangat penting dalam peningkatan profitabilitas perusahaan. Menurut penulis, walaupun kementerian sudah mempunyai SOP yang rigid, dan cenderung bisa berjalan tanpa komando, namun peran pemimpin, dalam hal ini menteri masih sangat nyata. Seorang menteri dapat mendrive jalannya kementerian, sehingga mempengaruhi laju kecepatan program yang sedang dijalankan. Pada saat kepemimpinan Bambang Brodjonegoro, Kementerian Keuangan memang berjalan dengan baik, namun ada kemungkinan Presiden mempunyai pandangan lain, dengan menggantinya dengan Sri Mulyani dan menempatkannya pada jabatan baru, yaitu Kepala Bappenas. Bagaimanapun juga menteri merupakan agent yang ditempatkan oleh presiden untuk membantunya mengurus bidang-bidang tertentu.

Pemimpin yang baik harus memiliki kemampuan intrapersonal dan interpersonal. Menurut Davis, faktor yang harus dipenuhi seorang pemimpin adalah kecerdasan, motivasi, dan Hubungan antar manusia. Kecerdasan Sri Mulyani tidak perlu diragukan dengan segudang prestasinya. Motivasi Sri Mulyani mungkin dapat tercermin dari post akun linkedin yang menyatakan, “it is an honor to serve the president and my fellow Indonesians by continuing the ongoing reform program. I will dedicate all my efforts to accelerating Indonesia’s development agenda with the goal of providing more and better service, particularly to the poor, and ensuring that all citizen will be able to participate in benefits of a thriving economy.” Pernyataan tersebut seharusnya tidak terlalu mengkhawatirkan untuk kelangsungan program tax amnesty yang telah dijalankan, apalagi tax amnesty juga pernah dilakukan pada masa kepemimpinannya dulu.

Yang menarik adalah efek interpersonal Sri Mulyani. Wall street journal pada Mei 2010 melaporkan penurunan IHSG sebesar 3,8% karena berita turunnya Sri Mulyani dari Menteri Keuangan. Demikian juga 27 Juli 2016, saat pengangkatannya kembali, dilaporkan IHSG naik 60,47 poin atau 1,16 persen ke level 5.284,87. Indeks saham LQ45 menguat 1,32 persen ke level 914,09. Seluruh indeks saham acuan menghijau. Tentu ini menambah percaya diri pemerintah untuk mempengaruhi pemilik modal untuk melakukan deklarasi harta maupun repatriasi dananya ke Indonesia. sebagai icon marketing keuangan Indonesia yang baru Sri Mulyani juga perlu melakukan promosi ke negara target tax amnesty, misalnya Singapura dan British Virgin Island, dan semoga tax amnesty kita laris.


LINDUNG NILAI DAN LINDUNG PAJAK


Salah satu tujuan transaksi derivatif adalah untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan atas transaksi yang dilakukan sebelumnya. Tujuan ini kerap disebut dengan lindung nilai, karena melindungi nilai transaksi awal. Misalnya, dengan harga cabai yang cenderung fluktuatif, petani tidak ingin mengalami kerugian atas biaya penanaman dan perawatan tanamannya. Petani melakukan kontrak berjangka atas hasil panen sebelum masa panen kepada pembeli dengan harga yang disepakati. Petani cabai mendapatkan kepastian harga jual hasil panennya, sedangkan pembeli berspekulasi dengan harga cabai masa depan. Apabila harga cabai naik dan melebihi harga kontrak, maka pembeli untung besar. Begitu pula sebaliknya, apabila harga turun pada saat panen, maka pembeli mungkin rugi atas transaksi tersebut.

Transaksi derivatif merupakan transaksi yang melibatkan secara tidak langsung produk yang diperjualbelikan atau yang disebut underlying product. Dari produk yang sama dapat terjadi transaksi yang bermacam macam. Misalnya saham yang diperjualbelikan terdapat transaksi opsi untuk  hak beli pada tingkat harga tertentu, selanjutnya hak opsi ini dapat diperjualbelikan lagi dengan transaksi lainnya. Transaksi-transaksi turunan inilah yang membuat derivatif menjadi instrumen yang efektif dalam perusahaan mengatur praktek manajemen labanya (Barton, 2001).

Di sisi lain, perkembangan manajemen laba memaksa para manajer untuk selalu dapat memenuhi ekspektasi stakeholder mereka. Dengan menampilkan kinerja perusahaan yang terbaik, manajer akan dihargai oleh para pemegang saham sehingga kompensasi yang akan diterima oleh manajer tersebut meningkat (Smith dan Stulz 1985; Gaver et al. 1995; Balsam 1998; Barton 2001; Pincus dan Rajgopal 2002 dalam Oktavia dan Dwi Martani 2013).

Manajemen laba merupakan upaya yang dilakukan pihak manajemen untuk melakukan intervensi dalam penyusunan laporan keuangan dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri, yaitu pihak perusahaan yang terkait. Manajemen laba dapat dilakukan melalui praktik perataan laba (income smoothing), taking a bath, dan income maximization (Scoot, 2000 dalam Aditama dan Purwaningsih, 2014). Manajemen laba yang berlebihan memungkinkan manajemen menggunakan cara yang agak kotor, misalnya tax avoidance sampai dengan tax evasion.

Transaksi derivatif sering menjadi masalah dalam perhitungan pajak perusahaan, misalanya bagaimana pengakuan keuntungan dan kerugian transaksi. Apakah kerugian transaksi dapat digunakan sebagai kompensasi penghasilan yang kena pajak tahun berikutnya? Dan lain-lain, karena senakin rumit transaksi derivatif, maka semakin sulit pendefinisian pengakuan transaksinya.

Sebenarnya, pada tahun 2009, Pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 17, tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa. Pemerintah menetapkan pajak final sebesar 2,5% dari margin awal transaksi. Namun, aturan ini mendapat tentangan keras dari Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia dan Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia, sehingga pemerintah menerbitkan PP Nomor 31 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa PP Nomor 17 tahun 2009 dicabut (Oktavia dan Martani, 2013). Dengan tidak adanya pajak atas penghasilan seperti ini apakah kerugian atas transaksi derivatif boleh dikompensasi? Kondisi seperti ini menyebabkan hilangnya potensi pajak yang seharusnya didapatkan oleh pemerintah.

Aturan yang dibuat pemerintah atas transaksi derivatif yang tidak jelas tersebut dapat digunakan oleh perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak (Darussalam dan Septriadi, 2009 dalam Oktavia dan Martani, 2013). Menurut Donohoe (2012), penggunaan derivatif keuangan sebagai alat penghindaran pajak didorong oleh ambiguitas dalam peraturan pajak atas transaksi derivatif. Ambiguitas inilah yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan sebagai celah untuk melakukan penghindaran pajak dengan menggunakan derivatif.

Semoga pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pajak dapat menyikapi dan membuat aturan yang lebih jelas yang menguntungkan negara tetapi tidak merugikan semua pihak.



EVOLUSI PREDATOR PAJAK


Hampir semua hal di dunia ini akan berubah menyesuaikan keadaan zaman. Penyesuaian ini salah satu tujuannya adalah memperbesar kontrol untuk memenuhi hasrat yang ingin dicapainya. Dalam dunia sepak bola, kontrol pemain terhadap bola tidak bisa dipisahkan dari desain sepatu pemain itu sendiri. Pada tahun 1994, perusahaan apparel Adidas mengeluarkan sepatu sepak bola seri perdana tipe predator. Seri sepatu ini cukup melegenda, karena dipakai oleh beberapa pemain top dunia, seperti Xavi, Steven Gerrard, Iker Cassillas, Robin van Persie sampai Mesut Ozil.

Kehebatan legenda sepatu seri predator ini tidak serta merta adanya, tetapi melalui pengembangan dan perubahan desain yang intensif. Salah satu keunggulan desain sepatu ini adalah dapat meningkatkan kontrol pemain terhadap bola pada saat dribbling, passing sampai shooting ke gawang lawan. Hal ini dapat dilihat dari stripping bagian depan dan samping sepatu yang berkontur khas. Setiap akan mengeluarkan seri predator terbaru, Adidas memberikan sepasang sepatu putih kepada pemain profesional untuk mendapat feedback desain yang diinginkannya. Cara ini efektif untuk meningkatkan performa kontrol sepatu juga performa pemain tersebut.

Dalam dunia perpajakan, fungsi kontrol penerimaan pajak tidak tergantung pada sepatu para pegawai. Line up pegawai yang memiliki fungsi kontrol atau pengawasan terhadap wajib pajak dan pembayaran pajaknya dipegang oleh Account Rrepresentative (AR). Dengan sistem perpajakana yang self assestment, wajib pajak dapat sesuka hati melaporkan SPT mereka dengan angka yang dikehendaki, atau bahkan tidak melaporkannya. Oleh karena itu, fungsi pengawasan oleh AR berperan sentral dalam memastikan terisinya pundi-pundi rupiah kas negara.

Pengawasan adalah salah satu bentuk enfocement yang dilakukan DJP sebagai otoritas pajak di Indonesia kepada Wajib Pajaknya. AR ada sejak adanya reformasi birokrasi di tubuh DJP. Sesuai  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 98/KMK.01/2006, AR mempunyai tugas melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan wajib pajak; bimbingan/himbauan dan konsultasi teknis perpajakan kepada wajib pajak; penyusunan profil wajib pajak; analisis kinerja wajib pajak, rekonsiliasi data wajib pajak dalam rangka intensifikasi; dan melakukan evaluasi hasil banding berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Dengan fungsi tersebut, AR akan mengedepankan legitimate power. Pelayanan kepada wajib pajak dapat menumbuhkan kepercayaan Wajib Pajak, sehingga Wajib Paak lebih kooperatif dalam menjalankan kewajibannya. Hofmann dkk (2014) menyatakan bahwa prediksi dampak dari penggunaan legitimate power ini akan meingkatkan kepatuhan Wajib Pajak terhadap aturan perpajakan. Dalam Mahendra, dkk (2014), Bradley dan Cassie Francys (1994) menyatakan kepatuhan wajib pajak merupakan faktor penting bagi peningkatan penerimaan pajak, maka perlu secara intensif dikaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, khususnya wajib pajak badan.

Berkembangnya ekonomi dan dunia usaha, mengharuskan DJP menata ulang line up-nya. Beban kerja AR akan menjadi sangat berat apabila masih menggunakan aturan yang telah berumur satu dasawarsa itu. Dalam PMK 206.2/PMK.01/2014, Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang menjadi seksi induk AR dibagi menjadi 2 fungsi yang berbeda, yaitu: Seksi Pengawasan dan Konsultasi I yang bertugas melakukan proses penyelesaian permohonan Wajib Pajak, usulan pembetulan ketetapan pajak, bimbingan dan konsultasi teknis perpajakan kepada Wajib Pajak, serta usulan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan; dan Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, Seksi Pengawasan dan Konsultasi III, serta Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV, masing-masing bertugas melakukan pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, penyusunan profil Wajib Pajak, analisis kinerja Wajib Pajak, rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka melakukan intensifikasi dan himbauan kepada Wajib Pajak.   Peraturan ini diperjelas dengan  PMK -79/PMK.01/2015 tentang Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak membuat pemisahan pada posisi Account Representative sehingga kini Account Representative  yang menjalankan fungsi pelayanan dan Konsultasi Wajib Pajak, yang berada di Seksi Waskon I; dan Account Representative yang menjalankan fungsi Pengawasan dan Penggalian Potensi Wajib Pajak, yang berada di Seksi Waskon II, Waskon III dan Waskon IV.

Line up seperti ini, AR pada Seksi Pengawasan dan Konsultasi I berperan deffensive, sedangkan  AR pada Seksi pengawasan dan konsultasi II dan seterusnya lebih dapat berperan sebagai predator yang offensive terhadap Wajib Pajak. DJP sebagai organisasi induk otoritas pajak nasional mengaharapkan skema yang telah dipasang dapat efektif menjaring penerimaan dari intensifikasi perpajakan.


Walaupun sepatu seri predator berjaya sejak tahun 1994, akhirnya Adidas mengakhiri siklus hidup sepatu seri ini pada tahun 2015. Adidas terus mengembangkan seri sepatu baru yang lebih relevan dalam perkembangan dunia persepakbolaan saat ini semacam Adidas Ace, Adidas X dan Adidas Messi. Mungkin AR sebagai Predator juga akan berubah ungsi pada masa berikutnya. Semoga DJP juga menempatkan strategi terbaik guna memaksimalkan penerimaan negara untuk negara kita tercinta.

Jumat, 13 Mei 2016

GOLDEN TRIANGLE

Di dalam sebuah perusahaan terdapat tiga pihak yang mempunyai kepentingan satu sama lain. Hubungan ketiga pihak ini dapat diibaratkan sebuah segitiga, dimana masing-masing phak mengisi satu sisi. Tiga sisi segitiga harus bersatu, untuk menciptakan bentuk segitiga yang sempurna. Yang menjadi kepentingan bersama sekaligus pemersatu adalah laporan keuangan perusahaan. Sebagai pihak yang mempunyai interest yang sama, hubungan ketiganya dapat dideskripsikan sebagai hubungan yang complicated. Tidak jelas siapa yang menjadi sisi paling panjang, juga tidak jelas siapa yang menjadi sisi bawah. Tiga pihak ini adalah manajemen, pemegang saham atau investor dan pemerintah.


Manajamen merupakan pihak yang mengelola jalannya perusahaan. Dalam melakukan pekerjaannya, manajemen mempunyai empat fungsi utama, yaitu planning, organizing, directing, dan controlling. Empat fungsi tersebut bertujuan untuk menjalankan aktivitas perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan yang umumnya bersifat moneter. Manajemen lah yang menyusun laporan aktivitas perusahaan yang berupa laporan keuangan.
Pemegang saham, atau investor, secara langsung maupun tidak langsung merupakan pemilik perusahaan, karena dengan uang mereka, perusahaan memperoleh modal yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Pemegang saham berkepentingan terhadap modal yang disetorkan pada perusahaan. Mereka berharap mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari investasi yang dikeluarkan. Sesuai teori agency, pemegang saham berposisi sebagai principals, sedangkan yang menjadi agen adalah manajemen.

Dimana posisi pemerintah? Dengan adanya peraturan perundang-undangan tentang pajak penghasilan, pemerintah menjadi salah satu dari minority interest selayaknya pemegang saham lainnya. Pemerintah berkepentingan dalam memperoleh pajak dari pendapatan yang diperoleh oleh perusahaan.

Semakin berkembangnya perusahaan, semakin berkembang pula variasi dan banyaknya pemegang saham perusahaan. Semua dari mereka tidak mungkin mengawasi manajemen dalam melakukan tugas menjalankan perusahaan termasuk menyusun laporan keuangan. Mereka lebih memilih menjadi free rider, karena pengawasan akan membutuhkan banyak biaya. Namun demikian , pemerintah, melalui otoritas perpajakan, melakukan fungsi pengawasan tersebut. Selain untuk kepentingan perpajakan, pengawasan ini secara tidak langsung memeberikan keuntungan pemegang saham lainnya, karena dapat terwakili untuk mengawasi, tetapi dapat merugikan juga, karena pendapatan perusahaan akan berukurang untuk membayar pajak.

Hubungan ketiga pihak ini sangat menarik perhatian para peneliti, terutama berkaitan dengan perpajakan. Pada tahun 2007, Mihir A. Desai, Alexander Dyck dan Luigi Zingales meneliti tentang hubungan pajak perusahaan dan pengelolaan perusahaan. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa otoritas pajak dan pemegang saham mempunyai tujuan untuk mengurangi penyelewengan manajemen. Berdasar hal tersebut, penetapan tarif pajak yang tinggi akan memperburuk tata kelola perusahaan, akan tetapi, peningkatan pemaksaan pajak dapat meningkatkan tata kelola perusahaan sehingga bagian yang diterima pemegang saham juga meningkat. Apabila dikaitkan dengan perubahan kebijakan pemerintah dalam menaikkan tarif pajak, maka perusahaan dengan tata kelola yang baik akan merespons lebih baik dibandingkan perusahaan yang tata kelolanya kurang baik.

Mihir A. Desai bersama Dhammika Dharmapala, pada tahun 2009 melakukan penelitian terhadap hubungan manajemen laba dan penghindaran pajak. Dalam penelitian ini, berdasar teori agency, manajemen mengusahakan peningkaran laba termasuk dengan manipulasi tidak semata-mata untuk kepentingan pemegang saham, tetapi juga untuk mereka sendiri, karena mereka akan mendapatkan insentif lebih besar sejalan besarnya laba. Dari segi perpajakan menurut penelitian ini, perlu perubahan aturan dengan satu pelaporan keuangan untuk otoritas pajak sekaligus otoritas pasar modal. Hal ini akan menurunkan biaya kepatuhan.

Selanjutnya, Michelle Hanlon, Jeffrey L. Hoopes dan Nemit Shroff pada tahun 2014, mengembangkan penelitian dalam hubungan antara pemaksaan pajak dengan kualitas laporan keuangan. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa pemaksaan pajak berhasil meningkatkan kualitas laporan keuangan. Dengan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, kepentingan pemegang saham juga terlindungi dari penyimpangan manajemen.


Pajak perusahaan, tata kelola perusahaan, manajemen laba, penghindaran pajak, pemaksaan pajak dan kualitas laporan keuangan merupakan hal yang sangat berpengaruh dan berkaitan dengan hubungan manajemen, pemegang saham dan pemerintah. Keterkaitan satu dengan yang lain bisa jadi semakin kompleks sejalan dengan perkembangan dunia bisnis dan peraturan perpajakan.

CSR YANG TIDAK IDEAL

Semua yang ada di masyarakat harus mengikuti aturan yang berlaku di masyarakat itu. Orang, atau yang diorangkan, misalnya organisasi dan perusahaan saling bergaul dalam dinamika pergaulan masyarakat. Sejalan dengan teori legitimasi, sebuah organisasi akan lebih legitimate menjadi bagian dari masyarakat apabila dia mampu memperhatikan dan mematuhi norma sosial di masyarakat tersebut.
Sebuah perusahaan bisnis, merupakan organisasi yang mengkhususkan diri di bidang ekonomi, meskipun begitu, perusahaan ini tetap menjadi bagian dari masyarakat. Selain tujuan keuntungan, perusahaan juga harus memperhatikan lingkungan sekitar, baik sosial maupun lingkungan hidup. John Elkington, pada tahun 1988 memperkenalkan konsep tripple bottom line, yang mendefinisikan peran perusahaan menjadi 3 fungsi. Yang pertama, profit untuk keberlangsungan hidup perusahaan sendiri, yang kedua, people, yaitu kesejahteraan masyarakat sekitar. Yang ketiga planet, yang merepresentasikan lingkungan hidup yang menjadi habitat banyak makhluk lain.

Konsep tripple bottom line ini masih relevan digunakan sampai saat ini, dan diaplikasikan dalam bentuk CSR, Corporate Social Responsibility. Uang yang digunakan untuk membiayai CSR mengurangi laba yang akan diperoleh perusahaan, sehingga berpotensi mengurangi pajak yang akan dibayarkan juga. Hal ini yang harus menjadi perhatian  kita sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia keuangan negara. Keadaan ideal yang diharapkan adalah semua perusahaan menjalankan kewajiban perpajakannya dengan jujur, sekaligus mengeluarkan CSR untuk kepentingan masyarakat. Pada kenyataannya, kondisi ideal bagaikan fatamorgana, selaras pameo Milton Friedman (1990) “the business of business is business”. Bagaimana jika perusahaan mempunyai program CSR yang bagus, tetapi pada saat yang sama melakukan perencanaan pajak yang agresif? Atau bagaimana bila perusahaan menjadi Wajib Pajak yang patuh, tetapi disisi lain mereka tidak menjalankan CSR-nya? Mana yang lebih baik?

Pada tahun 2006, terungkap kasus penghindaran pajak yang melibatkan PT Asian Agri Grup. Salah satu modus yang digunakan adalah dengan menjual prduk minyak sawit mentah (CPO) keluaran PT Asian Agri kepada perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga dibawah pasar, kemudian dijual lagi ke pembeli riil dengan harga tinggi, sehingga pajak dalam negeri menjadi tertekan. Masih dalam belutan kasus tersebut, pada tahun 2014, PT Asian Agri mendapatkan penghargaan gold dalam CSR Award. Dua hal yang tidak konsisten, perusahaan tidak mau membayar pajak, tapi bersedia mengeluarkan uang banyak untuk mendanai CSR. Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Luts Preuz (2010) yang mengindikasikan bahwa CSR yang dilakukan perusahaan merupakan sekedar pemanis untuk laporan perusahaan, atau bisa jadi menjadi indikasi modus lain penghindaran pajak seperti hasil penelitian Lanis & Richardson (2013) dan Luke Watson (2014).

Pajak dan CSR merupakan dua hal yang sama-sama diamanatkan oleh undang-undang. Undang-undang Perseroan Terbatas, sebagai dasar kewajiban CSR tidak secara eksplisit mengatur besaran CSR yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Pada pasal 74 UU PT ayat (1) berbunyi, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Pada ayat (2) berbunyi, “tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1), merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Hal ini sangat berbeda dengan undang-undang perpajakan yang sangat rinci mengatur besaran pajak yang harus dibayarkan. Misalnya PPN adalah 10% dengan perhitungan Pajak Masukan dikurangi Pajak Keluaran, dan pajak penghasilan badan yang berlaku saat ini adalah 25% dari penghasilan kena pajak. Semua pajak yang dibayarkan dapat dihitung berdasarkan tarif yang berlaku. Dalam hal ini pajak lebih unggul daripada CSR.

Perusahaan sebagai entitas keuangan menginginkan efisiensi dalam pengeluaran sekaligus efektivitas dalam memperoleh laba.  Membandingkan kombinasi fokus perusahaan dalam CSR dan perencanaan pajak yang agresif sesuai pertanyaan diatas, menurut saya lebih baik perusahaan patuh terhadap aturan perpajakan, walaupun tidak melakukan CSR secara massive. Alasan pertama, dilihat dari segi fungsinya, pajak dan CSR mempunyai fungsi yang agak mirip, yaitu menyediakan barang publik untuk masyarakat. Apabila perusahaan hanya membayar pajak yang besar, maka kemungkinan dana tersebut akan mengalir kepada masyarakat juga, walaupun secara tidak langsung menggunakan nama perusahaan sebagai entitas pemberi dana. Yang kedua kemungkinan penggunaan skema CSR sebagai modus penghindaran pajak. Yang ketiga, aturan hukum pajak lebih jelas dan terperinci mengenai besaran pajak yang harus dibayarkan. Meskipun demikian, kita masih berharap perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat memenuhi kondisi ideal, dimana mereka menjalankan atruan perpajakan dengan patuh dan jujur sekaligus mengeluarkan CSR untuk kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitar.

Jumat, 29 April 2016

TARIK ULUR PENDAPATAN PAJAK


Di dunia ini adakah yang berbaik hati membayar pajak melebihi yang seharusnya dia bayarkan? Hampir semua orang tidak suka membayar pajak, karena pajak bersifat memaksa, tetapi sang pembayar tidak mendapatkan manfaat secara langsung yang bisa dirasakan.

Pada kasus Enron, pada tahhun 2000, perusahaan mengakui laba sebesar $100 miliar, laba yang sangat besar, sehingga Enron termasuk jajaran perusahaan terbesar di Amerika Serikat. Apabila diasumsikan tarif pajak yang berlaku di Amerika pada saat itu sebesar 35% maka pajak yang harus dibayarkan adalah sebesar $35 miliar. Akan tetapi pada Oktber 2001 Enron mengakui adanya kerugian sebesar $618 juta ditambah manajemennya dijatuhi hukuman karena dituduh melakukan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Dari awal, Enron telah mengalami kesulitan dalam keuangan, tetapi dalam laporan keuangan selalu disajikan dalam nilai yang selalu laba besar. Laporan keuangan agresif yang dilakukan Enron ini bertujuan untuk mandapatkan suntikan modal dari investor maupun kreditor. Laba yang besar, likuiditas yang lancar, ROI yang ideal merupakan beberapa indikator kesehatan perusahaan yang ditampilkan dalam laporan keuangan.

Pada sisi yang lain, perusahaan yang menginginkan pembayaran pajak yang kecil berusaha mengecilkan laba dalam laporan perpajakannya. Laporan pajak yang agresif seperti ini mempunyai risiko laporan keuangan perusahaan yang dikeluarkan tidak maksimal, sehingga kinerja perusahaan dapat dinilai tidak kredibel oleh invesor maupun kreditor.

Trade off yang dihadapi manajemen pada saat memilih laporan keuangan atau laporan pajak, seperti yang disampaiakan Shackelford dan Shevlin (2001), ternyata tidak terbukti pada penelitian selanjutnya. Shackelford dan Shevlin merumuskan bahwa ketika laporan keuangan memeperoleh laba maksimal maka pajak yang dibayarkan juga maksimal, dan sebaliknya apabila ingin mengurangi pajak yang ibayarkan, maka performa laporan keuangan harus dikurangi. Frank et al (2009) menemukan bahwa terdapat kecenderungan bahwa manajamen perusahaan mampu melaporkan laba besar pada laporan keuangan, dan pada waktu yang sama, mereka melaporkan pajak perusahaan yang kecil.

Sebagai manusia, tim manajemen perusahaan juga ingin kinerjanya diakui bagus. Indikator kinerja manajemen salah satunya dinilai dari laporan keuangan dan laporan pajak perusahaan. Mereka berusaha mempercantik keduanya. Celah perbedaan prinsip akuntansi yang berlaku dengan aturan pajak yang diundangkan, mampu memberikan peluang bagi manajemen perusahaan untuk mengelola pendapatan menurut laporan keuangan lebih besar sedangkan pendapatan kena pajak lebih kecil pada periode pelaporan yang sama. Berdasarkan hasil penelitian Frank et al tersebut, aturan perpajakan masih mempunyai banyak loophole yang mungkin dimanfaatkan.

Loophole merupakan kondisi yang memungkinkan seseorang untuk menghindari kewajiban tanpa pengenaan sanksi penalti atau sanksi hukum. Loophole dalam perpajakan memungkinkan wajib pajak mendapatkan peluang penghematan pembayaran pajak, atau terhindar dari kewajiban perpajakan.tertentu atau terhindar dari pengenaan sanksi administratif perpajakan. Loophole ini ada yang sengaja diciptakan untuk tujuan memperbaiki pasar, misalnya tax amnesty, dan ada pula yang terjadi karena perbedaan penafsiran antara pembuat peraturan dan penggunanya.


Hal ini dapat dijadikan pelajaran bagi otoritas perpajakan untuk menyusun aturan-aturan perpajakan yang dapat menutup celah-celah penghindaran pajak, tetapi dalam waktu yang sama dapat menciptakan iklim ekonomi yang kondusif bagi pelakunya.