Rabu, 15 Juni 2016

Pendidikan Fiskus dalam Penerimaan Pajak Nasional



Pendidikan menjadi isu penting sejak tahun 2003 dalam APBN. Terhitung sejak tahun 2008, anggaran pendidikan di Indonesia efektif mencapai 20% dari APBN. Hal itu mempengaruhi mandatory spending dalam setiap tahunnya, sehingga APBN semakin menggelembung. Pajak sebagai penyokong 70an persen dari APBN mau tidak mau terkena imbasnya. Untuk memenuhi target tersebut Direktorat Jenderal Pajak perlu menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni, terutama dalam hal enforcement.

Salah satu instrumen tax enforcement yang dimiliki DJP adalah fungsional pemeriksa pajak. Dalam SE-07/PJ.7/2000 ditetapkan kriteria pegawai DJP yang bisa menjadi fungsional pemeriksa pajak, diantaranya, (a) dididik dan dilatih sebagai pemeriksa pajak; (b) dididik dan dilatih mengenai pengetahuan perpajakan serta teknis perpajakan; dan (c) diseleksi baik mental (attitude) maupun teknis pemeriksaan pajak serta pengetahuan perpajakan. Dua poin menyebutkan keharusan pendidikan dan pelatihan teknis pemeriksaan dan perpajakan sebagai syarat formal menjadi seorang pemeriksa pajak. Sebenarnya, setiap pegawai DJP telah melakukan diklat dasar tentang perpajakan. Boleh jadi kita bertanya, mengapa perlu ada training lagi untuk pemeriksa pajak, dan pegawai lainnya? Ketika pendidikan nasional mendapat perhatian pemerintah sebesar 20% dalam APBN, bagaimana perhatian DJP untuk pendidikan pegawainya? Pada akhirnya pertanyaan bermuara pada apakah ada pengaruh diklat pegawai DJP terhadap penerimaan pajak nasional yang didapat?

Nilgun Serim dkk (2014) menyebutkan bahwa latar belakang pendidikan pegawai pajak berpengaruh pada hubungan antara pegawai dan wajib pajak sebagai pihak yang dilayani. Pemahaman tentang peraturan dan teknik menghadapi wajib pajak secara psikologi dapat diajarkan dalam training untuk pegawai, sehingga pelayanan yang diberikan menjadi lebih baik. Pegawai pajak harus selalu menjaga hubungan baik dengan semua stakeholder, termasuk pada saat melakukan enforcement. Suasana alami yang tercipta pada saat tax enforcement adalah suasana tegang, oleh akrena itu, pemeriksa pajak harus bisa memainkan kondisi psikologi dirinya sendiri dan wajib pajak yang diperiksa supaya tujuan pemeriksaan untuk mendapat informasi dapat tercapai.

Pemeriksaan pajak merupakan serangkaian kegiatan, mulai dari menghimpun dan mengolah data dan bukti yang bertujuan untuk menguji kepatuhan terhadap ketentuan peratuaran perpajakan yang berlaku. Proses analisis data wajib pajak memerlukan skill khusus dari pegawai pajak untuk mendapatkan keyakinan atas kepatuhan wajib pajak, karena secara rasional, wajib pajak akan berusaha menyembunyikan penghasilannya yang kena pajak. Kemampuan khusus ini diajarkan pada diklat teknis substantif pemeriksaan pajak sebelum pegawai diangkat menjadi fungsional pemeriksa pajak. Setelah diangkat menjadi fungsional pemeriksa, pegawai tersebut masih mendapat penyegaran dengan diklat khusus, misalnya tentang tindak pidana pencucian uang, transfer pricing dan lain-lain untuk mempertajam naluri auditnya.

Tidak ada angka khusus yang dapat merepresentasikan besarnya tambahan penerimaan pajak yang dihitung dari banyaknya pendidikan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Akan tetapi secara logis, apabila kemampuan pemeriksaan pajak semakin meningkat, maka potensi penerimaan dari pemeriksaan semakin besar, baik karena pengaruh psikologi wajib pajak yang terbuka maupun temuan oleh pemeriksa itu sendiri.


MEMBURU PAJAK BUNGA LUAR NEGERI


Hasil gambar untuk bunga utang luar negeri


Setiap pengusaha menginginkan hasil usaha atau profit yang maksimal. Jika memungkinkan perusahaan akan mengorbankan sedikit biaya untuk memaksimalkan profit, bahkan jika memungkinkan lagi, tanpa modal. Banyak skema yang memberikan alternatif meminimalkan modal investasi, diantaranya adalah dengan utang. Selain menjadi modal usaha, utang ini juga dapat berperan lain dalam memaksimalkan profit, yaitu peran instrumen penghindaran pajak. 

Isu penghindaran pajak masih marak di dunia investasi dan permodalan. Ketika memutuskan untuk melakukan investasi, lokasi merupakan aspek penting yang sangat diperhatikan. Perusahaan dapat memperhitungkan biaya transportasi bahan baku, biaya penjualan, sampai keadaan politik wilayah tersebut, termasuk tarif pajak yang berlaku. Bagi perusahaan multi nasional, yang mempunyai banyak pabrik di beberapa negara, dengan modal yang besar, mereka dapat menentukan negara mana tempat investasi mereka. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah setempat akan sangat mempengaruhi minat MNC untuk berinvestasi, terutama kebijakan perpajakannya. Apabila suatu negara mempunyai tarif pajak yang rendah dan peraturan perpajakan yang longgar, tentu akan lebih menarik bagi investor, sehingga dapat memaksimalkan profit yang akan diperoleh.

Salah satu modus memaksimalkan profit dari penghindaran pajak adalah melalui skema thin capitalization, dimana perusahaan meningkatkan jumlah pembiayaan utang berbunga di negara-negara yang mempunyai tarif pajak yang tinggi. Hal ini dapat mengurangi beban pajak perusahaan karena bunga yang dibayarkan dapat dibebankan sehingga mengurangi pendapatan kena pajak. Thin capitalization akan lebih efektif jika kreditur mempunyai hubungan istimewa dengan perusahaan, sehingga permainan pengaturan bunga akan lebih sempurna.

Dalam menghadapi kebijakan perusahaan yang menggunakan thin capitalization, pemerintah, melalui otoritas perpajakan akan menyesuaikan kebijakan perpajakannya. Dengan fakta bahwa negara yang mempunyai tarif pajak tinggi, perusahaan didalamnya cenderung mempunyai external debt yang tinggi (Buettner, et al, 2007), pemerintah dapat menurunkan tarif pajak badan yang berlaku. Strategi ini banyak dilakukan, misalnya di Indonesia, sehingga tren yang terjadi adalah menurunkan tarif pajak.

Cara lain yang dapat dilakukan  pemerintah adalah melalui pengetatan pembatasan Debt to Equity Ratio (DER). DER merupakan pembandingan utang perusahaan dengan aset yang dimilikinya. Rasio ini mencerminkan struktur permodalan yang dimiliki perusahaan. Semakin tinggi tarif pajak suatu negara, semakin tinggi pula DER perusahaan dalam negara tersebut (Gordon dan Lee, 2001). Hal ini mengindikasikan upaya penghindaran pajak yang lebih intensif oleh perusahaan. Dengan membatasi DER, pemindahan utang secara internasional dapat dikurangi (Andreas Haufler dan Marco Runkel, 2008). Di sisi lain, pengetatan aturan terhadap thin capitalization ini akan menambah cost of capital perusahaan, sehingga akan mengurangi investasi yang masuk (Buettner, et al, 2007) karena perusahaan akan lebih memilih meletakkan investasinya di negara yang aturannya tidak terlalu ketat.
Perbedaan aturan antar negara dapat diatasi apabila negara-negara tersebut mau berkoordinasi untuk membuat kesepakatan aturan yang mengikat thin capitalization ini. Misalnya Uni Eropa melalui Common Consolidated Corporate Tax Base (CCCTB) berusaha membatasi pengurangan atas pembayaran bunga dalam kelompok multinasional. Hal ini efektif mengurangi gerak transfer utang internasional, tetapi tidak dapat menafikan persaingan tarif antar negara.

Pada akhirnya, masing-masing negara merdeka, independen untuk menentukan kebijakan perpajakannya sendiri. Setiap negara mempunyai tujuan dengan kebijakan yang berbeda. Tidak bisa dipungkiri walaupun terdapat perjanjian pengetatan aturan yang mengikat thin capitalization, negara yang memiliki tarif pajak yang lebih tinggi akan dirugikan, karena tarif pajak efektif perusahaan multinasional yang mobile akan naik, sehingga mengurangi ketertarikan perusahaan untuk berinvestasi, dan pada kenyataannya negara berkembang atau negara kecil akan lebih memilih untuk menggunakan tarif pajak rendah dan aturan yang lebih toleran dalam mengatur thin capitalization supaya investasi tidak keluar dari negaranya.