Tax amnesty tahun 2016 sudah
resmi bergulir yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pengampunan Pajak. Orang-orang yang dulu tidak mau jujur menungkap
hartanya, diharapkan mau melakukan deklarasi harta dan membawanya dari luar
negeri ke dalam negeri. Tantangannya adalah membawa pemasukan pajak dari dana
yang terparkir di luar negeri maupun yang tersembunyi di dalam negeri dengan
membelai Wajib Pajak sekaligus mengancamnya. Membelai dengan tarif pajak yang
rendah, kemudian mengancam dengan tarif tinggi dan sanksi bila tidak mau
membuka data hartanya pada periode pengampunan ini.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai
otoritas pajak di Indonesia perlu nyali besar untuk menghadapi pemilik dana
yang besar ini. Logikanya semakin kaya seseorang maka semakin kuat daya tawar
terhadap pemerintah. Kemungkinan pertama, mereka bisa berhitung berapa harta
yang akan diungkap kepada DJP, untuk meminimalkan pajaknya. Hal ini semacam testing the water, bagaimana reaksi DJP
atas jumlah yang diungkap. Apakah DJP diam saja atau melakukan tindakan
penelusuran lebih lanjut. Kemungkinan kedua, Wajib Pajak saling menunggu
bagaimana rekan-rekan yang lain. Sebagai kelompok, Wajib Pajak cenderung
mengikuti arus utama. Apabila banyak yang lapor, maka mereka lapor. Berlaku
juga sebaliknya, bila dirasa banyak teman yang tidak menaati aturan Tax Amnesty
ini, mereka akan ikut mengabaikannya juga. Kemungkinan yang ketiga adalah
mengabaikan sama sekali aturan-aturan pajak ini. Kebanyakan mereka tidak
percaya DJP mampu menyentuh harta mereka.
Tindakan Wajib Pajak yang
meremehkan kemampuan DJP perlu dijawab oleh DJP dengan tindakan-tindakan nyata
dalam penegakan hukum perpajakan. Wajib Pajak “kuat” yang punya harta
menggunung ini perlu ditangani dengan “senjata yang kuat pula. Apa saja amunisi
yang dimiliki oleh DJP untuk itu?
Menurut penulis, setidaknya ada 4
senjata ampuh yang kini sudah dipegang oleh DJP, yaitu keterbukaan informasi
2018, aturan perpajakan yang komprehensif, pegawai pajak, dan Menteri Keuangan
yang baru.
Pertama, era keterbukaan. Pada
tahun 2015 Presiden Joko Widodo telah memperingatkan adanya era keterbukaan dan
tukar menukar informasi internasional. "Hati-hati nanti pada 2018,
keterbukaan secara global akan dimulai, bapak ibu kalau ada simpanan uang di
Swiss, Singapura, Hong Kong, nanti tidak bisa ditutupi lagi, jadi bagi yang
simpanannya banyak hati-hati," kata Jokowi dalam acara penyerahan
penghargaan keterbukaan informasi badan publik tahun 2015 di Istana Negara,
jakarta.
Yang dimaksud keterbukaan oleh
Presiden Jokowi adalah Automatic Exchange of Information (AEOI). AEOI adalah
kesepakatan dalam forum global dalam transparansi pada OECD (Organization for
Economic Cooperation & Development), organisasi untuk kerjasama ekonomi dan
pembangunan, yang diprakarsai oleh negara-negara G20, termasuk Indonesia. dalam
situs resminya, OECD menyatakan AEOI ini dapat mengurangi kemungkinan penghindaran
pajak. AEOI akan memberikan pertukaran informasi keuangan akun-akun rekening
yang dimiliki oleh warga luar negeri yang terdaftar, dengan otoritas pajak di
masing-masing negara asal pemilik rekening. Dengan begitu, DJP dapat mengetahui
data harta Wajib Pajak di luar negeri, sekalipun mereka tidak mengikuti program
Tax Amnesty.
Senjata kedua adalah peraturan
hukum pajak yang komprehensif dari pelaporan, penetapan sampai penagihan pajak
yang dapat dilakukan dengan gijzeling.
Disamping itu pemerintah masih akan dilakukan revisi-revisi penyempurnaan
terkait aturan-aturan tersebut. Tahun 2016 telah dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 11 tentang Pengampunan Pajak. Sementara undang-undang tentang ketentuan
umum perpajakan masih dalam proses penggodokan draft revisinya. Perubahan dalam
RUU KUP yang baru ini, bila dibandingkan RUU lama antara lain, akan adanya
Badan Penerimaan Perpajakan sebagai transformasi dari DJP saat ini. Dengan
menjadi badan tersendiri, wewenang otoritas pajak akan lebih besar dalam
melakukan tindakan internal sendiri maupun tindakan perpajakan terhadap Wajib
Pajak. Poin selanjutnya tentang kewajiban instansi terkait, isalnya bank,
akuntan publik dan notaris, untuk memenuhi permintaan informasi otoritas pajak
yang baru. Apabila ada aturan kerahasiaan yang mengikat, maka berdasarkan
aturan RUU ini, kerahasiaan itu ditiadakan. Semakin luas lah kewenangan otoritas
pajak dalam menggali potensi.
Aturan tentang keterbukaan
informasi dan RUU KUP yang masih dibahas kemungkinan besar akan mempengaruhi
peraturan-peraturan lain di luar DJP. Misalnya undang-undang perbankan dengan kerahasiaannya
yang ketat, kemungkinan akan diubah menyesuaikan dua aturan tersebut. Walaupun
tidak terbuka untuk umum, minimal ada keterbukaan dalam rangka pelaporan
pajaknya. Sementar ini, DJP hanya bisa mengakses data nasabah perbankan melalui
PPATK dan sebagian melalui mekanisme pemblokiran rekening Wajib Pajak dalam
bank.
Kekuatan ketiga adalah sumber
daya manusia yang dimiliki oleh DJP. Kementerian keuangan merupakan kementerian
paling gemuk di Indonesia dengan jumlah pegawai lebih dari 60ribu pegawai. Dari
60ribu tersebut, sekitar setengah diantaranya ditugaskan pada DJP. Lebih dari
30ribu pegawai DJP ditempatkan pada kantor-kantor pelayanan pajak yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke. SDM DJP merupakan manusia unggul terpilih dari
sekian anak bangsa yang mendapat kesempatan seleksi menjadi pegawai DJP. Setiap tahun terdapat regenerasi pegawai
sekitar lima raut sampai seribu orang untuk menambah dan menggantikan pegawai
yang pensiun atau resign. Besarnya SDM ini diharap mampu mengawal Tax Amnesty
dan melanjutkan proses collecting pajak dengan aturan-aturan yang berlaku. Akan
tetapi, SDM unggul ini juga menjadi masalah tersendiri bagi DJP, dimana banyak
pegawai yang berprestasi justru lebih memilih berkarir di sektor s
wasta, karena
ditawari gaji yang bisa mencapai lima kali lipat gaji di DJP.
Tambahan kekuatan keempat berasal
dari Bu Sri Mulyani yang kembali memimpin Kementerian Keuangan. Sepserti kita
ketahui bersama, Sri Mulyani lah yang meletakkan batu pertama reformasi
birokrasi di tubuh Kementerian Keuangan, terutama dalam tubuh DJP. Ada banyak
alasan pemanggilan Sri Mulyani kembali oleh Presiden Joko Widodo, tetapi yang
palingpenting sekarang adalah mengamankan penerimaan pajak nasional dengan
agenda besar Tax Amnesty 2016. Karena tax Amnesty ini merupakan pertaruhan
pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan seluruh programnya.
Dengan empat senjata utama yang
dimiliki DJP dan dengan dukungan politik dan ekonomi dari semua pihak, semoga
DJP dapat menyukseskan program Tax Amnesty 2016. Akan tetapi yang paling
penting adalah follow up dari tax amnesty yang telah dilakukan. Akan sia-sia
pengorbanan DJP berupa potensi pajak yang terpotong pengampunan pajak ini
apabila hanya sekedar tahun 2016.