Senin, 06 Februari 2012

ANGGARAN ALA KIYAI


Baru saja saya  di-tag pada salah satu post facebook teman tentang kompetisi penulisan tentang pesantren. Temanya sangat menarik, yaitu tentang cara mendidik kiyai dari perspektif santri,
namun sayang sekali tenggat waktu yang disediakan sudah habis. Tapi walaupun begitu, saya akan menceritakan pengalaman saya pada waktu masih nyantri di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum.

Sudah tiga tahun lebih saya dinyatakan lulus dari pesantren YPRU atau lebih dikenal dengan sekolah Guyangan, karena terletak di Desa Guyangan, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati. Dulu, saya bukanlah santri yang menginap/mondok di pesantren. Saya hanya siswa pada madrasah yang kebetulan dibawah yayasan pesantren. Memang di pesantren ini semua santri adalah siswa yang masih belajar, jadi semua kegiatan pondok otomatis terhenti pada saat kegiatan sekolah dimulai.

Sekarang saya juga sudah lulus dari bangku kuliah. Tapi kenangan tentang madrasah dan pesantren ini tidak dapat begitu saja saya lupakan dalam hidup ini, karena banyak sekali pelajaran dan hikmah dari bimbingan ustadz-ustadznya.

Pada waktu saya masih di bangku madrasah tsanawiyah dan aliyah, pondok ini dipimpin oleh KHM. Humam Suyuthi MHI.. Sosok beliau adalah kiyai yang tegas terhadap segala peraturan, bahkan terkesan “galak”. Jangan coba-coba membuat onar di lingkungan madrasah atau pondok atau bersiap-siap menghadap dengan risiko ta’zir atau yang paling akhir adalah dikembalikan kepada orang tua masing-masing. Sudah banyak kejadian santri-santri yang dikeluarkan begitu saja karena melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Kedisiplinan memang harga “setengah” mati di pesantren ini. Mengapa saya mengatakan setengah? Karena ini bukan lembaga militer, tetapi sedikit banyak saya merasakan kekakuan peraturan selam enam tahun 2disana, tapi juga beberapa kali menemukan toleransi didalamnya.

Disiplin, itulah kata yang tergambar bila anda bertanya pada wali santri dan masyarakat sekitar tentang pesantren ini. Bila dilihat sekilas dari perspektif orang luar pesantren, akan agak kaget dengan aturan didalamnya. Jangan tanya berapa santri yang tidak betah karena banyaknya peraturan. Untuk dapat dinyatakan naik kelas, santri harus mengahafalkan kitab faroidul bahiyah(untuk aliyah) dengan batas waktu yang telah ditentukan. Apabila santri tidak atau belum hafal atau belum menyetorkan hafalannya kepada ustadz yang ditunjuk, maka dapat dipastikan santri itu tidak akan naik kelas.

Bila belakangan ini sedang ramai masalah anggaran DPR yang menggila. Uang puluhan miliar untuk ruangan berukuran 10x10m, 2miliar untuk renovasi toilet. Sebagai orang yang terbiasa dengan kehidupan “cenderung” sederhana, saya jadi ingat ketika masih di aliyah dulu. Beberapa kali saya menjadi panitia acara di madrasah. Proposal yang harus dibuat harus se-real mungkin, terutama masalah anggaran acara. Inilah yang selalu ditekankan oleh kiyai kami. Proposal yang dibuat harus mendapat tandatangan pak yai, sehingga kami harus menghadap beliau langsung untuk menyerahkan proposal itu. Yai Humam merupakan sosok yang teliti sekaligus berpengalaman. Beliau hampir tahu semua kebutuhan, termasuk harganya. Beliau selalu berprinsip mendapatkan yang terbaik dengan harga yang pantas. Anggaran yang kami buat angkanya harus sesuai harga pasar, sehingga tidak jarang anggaran yang tertulis angka keriting. Tidak ada pembulatan sama sekali. Kalau beliau  kurang yakin dengan harganya, beliau langsung bertanya pada ahli yang beliau kenal. Pernah dalam satu proposal tertulis harga jeruk yang kelebihan beberapa ribu rupiah saja dari harga yang beliau ketahui, kemudian beliau mengatakan dengan tegas, “kalau kalian tidak tahu toko buah yang menjual dengan harga ini, biar saya yang beli.”  Kejadian seperti ini sering berulang karena kurangnya pengalaman kami tentang harga. Tetapi beliau juga tidak punya toleransi tentang kualitas, seperti pada waktu pemilihan vendor untuk sound system dalam acara haul, beliau mensyaratkan vendor yang terbaik di kota kami.

Saya sangat bersyukur sekali dapat menimba ilmu di madrasah Raudlatul Ulum dengan segala kegarangannya. Pada masa kuliah, ilmu dan pengalaman dari madrasah ini sangat berasa manfaatnya, terutama disiplin. Kalau dulu di madrasah harus berpakaian rapi dengan segala atributnya termasuk kalau ada songkok yang kelihatan butut atau warna hitamnya sudah pudar menjadi merah akan dibuang, dimasa kuliah saya terbiasa dengan peraturan kuliah yang mengharuskan semuanya tampak rapi.

Kampus tempat saya melanjutkan pendidikan merupakan kampus kedinasan dengan ikatan dinas, sehingga dalam waktu dekat ini kami akan ditempatkan pada instansi pemerintah (pada waktu penulisan ini, saya masih menunggu pengumuman penempatan, mohon doanya.) Pengalaman dan ilmu dari madrasah masih sangat membekas, dan semoga masih dapat saya amalkan untuk menjalankan amanat rakyat mengelola keuangan Negara. Amin.

2 komentar: