Baru
saja saya di-tag pada salah satu post
facebook teman tentang kompetisi penulisan tentang pesantren. Temanya sangat
menarik, yaitu tentang cara mendidik kiyai dari perspektif santri,
namun sayang sekali tenggat waktu yang disediakan sudah habis. Tapi walaupun begitu, saya akan menceritakan pengalaman saya pada waktu masih nyantri di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum.
namun sayang sekali tenggat waktu yang disediakan sudah habis. Tapi walaupun begitu, saya akan menceritakan pengalaman saya pada waktu masih nyantri di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum.
Sudah
tiga tahun lebih saya dinyatakan lulus dari pesantren YPRU atau lebih dikenal
dengan sekolah Guyangan, karena terletak di Desa Guyangan, Kecamatan Trangkil,
Kabupaten Pati. Dulu, saya bukanlah santri yang menginap/mondok di pesantren.
Saya hanya siswa pada madrasah yang kebetulan dibawah yayasan pesantren. Memang
di pesantren ini semua santri adalah siswa yang masih belajar, jadi semua
kegiatan pondok otomatis terhenti pada saat kegiatan sekolah dimulai.
Sekarang saya juga sudah lulus dari bangku kuliah. Tapi kenangan tentang madrasah dan pesantren ini tidak dapat begitu saja saya lupakan dalam hidup ini, karena banyak sekali pelajaran dan hikmah dari bimbingan ustadz-ustadznya.
Pada
waktu saya masih di bangku madrasah tsanawiyah dan aliyah, pondok ini dipimpin
oleh KHM. Humam Suyuthi MHI.. Sosok beliau adalah kiyai yang tegas terhadap
segala peraturan, bahkan terkesan “galak”. Jangan coba-coba membuat onar di
lingkungan madrasah atau pondok atau bersiap-siap menghadap dengan risiko
ta’zir atau yang paling akhir adalah dikembalikan kepada orang tua
masing-masing. Sudah banyak kejadian santri-santri yang dikeluarkan begitu saja
karena melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Kedisiplinan memang harga
“setengah” mati di pesantren ini. Mengapa saya mengatakan setengah? Karena ini
bukan lembaga militer, tetapi sedikit banyak saya merasakan kekakuan peraturan
selam enam tahun 2disana, tapi juga beberapa kali menemukan toleransi
didalamnya.
Disiplin,
itulah kata yang tergambar bila anda bertanya pada wali santri dan masyarakat
sekitar tentang pesantren ini. Bila dilihat sekilas dari perspektif orang luar
pesantren, akan agak kaget dengan aturan didalamnya. Jangan tanya berapa santri
yang tidak betah karena banyaknya peraturan. Untuk dapat dinyatakan naik kelas,
santri harus mengahafalkan kitab faroidul bahiyah(untuk aliyah) dengan batas
waktu yang telah ditentukan. Apabila santri tidak atau belum hafal atau belum
menyetorkan hafalannya kepada ustadz yang ditunjuk, maka dapat dipastikan
santri itu tidak akan naik kelas.
Bila
belakangan ini sedang ramai masalah anggaran DPR yang menggila. Uang puluhan
miliar untuk ruangan berukuran 10x10m, 2miliar untuk renovasi toilet. Sebagai
orang yang terbiasa dengan kehidupan “cenderung” sederhana, saya jadi ingat
ketika masih di aliyah dulu. Beberapa kali saya menjadi panitia acara di
madrasah. Proposal yang harus dibuat harus se-real mungkin, terutama masalah
anggaran acara. Inilah yang selalu ditekankan oleh kiyai kami. Proposal yang
dibuat harus mendapat tandatangan pak yai, sehingga kami harus menghadap beliau
langsung untuk menyerahkan proposal itu. Yai Humam merupakan sosok yang teliti
sekaligus berpengalaman. Beliau hampir tahu semua kebutuhan, termasuk harganya.
Beliau selalu berprinsip mendapatkan yang terbaik dengan harga yang pantas.
Anggaran yang kami buat angkanya harus sesuai harga pasar, sehingga tidak
jarang anggaran yang tertulis angka keriting. Tidak ada pembulatan sama sekali.
Kalau beliau kurang yakin dengan
harganya, beliau langsung bertanya pada ahli yang beliau kenal. Pernah dalam
satu proposal tertulis harga jeruk yang kelebihan beberapa ribu rupiah saja
dari harga yang beliau ketahui, kemudian beliau mengatakan dengan tegas, “kalau
kalian tidak tahu toko buah yang menjual dengan harga ini, biar saya yang
beli.” Kejadian seperti ini sering
berulang karena kurangnya pengalaman kami tentang harga. Tetapi beliau juga
tidak punya toleransi tentang kualitas, seperti pada waktu pemilihan vendor
untuk sound system dalam acara haul, beliau mensyaratkan vendor yang terbaik di
kota kami.
Saya
sangat bersyukur sekali dapat menimba ilmu di madrasah Raudlatul Ulum dengan
segala kegarangannya. Pada masa kuliah, ilmu dan pengalaman dari madrasah ini
sangat berasa manfaatnya, terutama disiplin. Kalau dulu di madrasah harus
berpakaian rapi dengan segala atributnya termasuk kalau ada songkok yang
kelihatan butut atau warna hitamnya sudah pudar menjadi merah akan dibuang,
dimasa kuliah saya terbiasa dengan peraturan kuliah yang mengharuskan semuanya
tampak rapi.
Kampus
tempat saya melanjutkan pendidikan merupakan kampus kedinasan dengan ikatan
dinas, sehingga dalam waktu dekat ini kami akan ditempatkan pada instansi
pemerintah (pada waktu penulisan ini, saya masih menunggu pengumuman
penempatan, mohon doanya.) Pengalaman dan ilmu dari madrasah masih sangat
membekas, dan semoga masih dapat saya amalkan untuk menjalankan amanat rakyat
mengelola keuangan Negara. Amin.
LEK DIS MAS YAYA!!!!
BalasHapusmatur nuwun mid.
BalasHapus