Minggu, 16 Januari 2011

Birokrasi via Kenalan


Birokrasi, saat ini masih menjadi kata yang berkonotasi negative dalam pandangan masyarakat umum. Namun, adakalanya sebuah birokrasi dapat menjadi proses yang menyenangkan bagi penggunanya.
Berikut adalah pengalaman yang dapat mewakili dua persepsi diatas.
Beberapa waktu yang lalu, kebetulan saya diberi nikmat sakit dari Yang Maha Kuasa. keadaan ini memaksa saya untuk memeriksakan diri ke sebuah instansi pemerintah yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat tentang kesehatan ditingkat kecamatan. Sampai di tempat, seperti pasien-pasien lain, saya mendaftar untuk mendapat nomor antrean. Keadaan cukup ramai, mungkin lagi musim orang sakit.
Saat saya menunggu panggilan, tiba-tiba seseorang yang saya kenal lewat. Beliau adalah salah satu pegawai di instansi tersebut yang juga ibu dari teman saya. Beliau menyapa saya lebih dulu, dan terjadi percakapan singkat seperti biasa. Setelah itu beliau meninggalkan saya dan kembali pada pekerjaannya.
Tidak berselang lama nama saya dipanggil, untuk menuju ruang periksa. Sayapun beranjak. Disana ternyata masih ada pasien yang diperiksa, sayapun menunggu bersama seorang pasien lainnya. Disana juga ada ibu temanku itu, tapi saya masih berpikir bahwa itu memang pekerjaannya. Di luar ruang periksa ini kami masih sempat bercakap-cakap sebentar, malah kemudian ada pegawai lainnya ikut bergabung. Tiba-tiba nama saya dipanggil lagi untuk menuju ruang periksa yang sebenarnya.
Setelah dari ruang periksa, saya menuju bagian obat-obatan untuk menyerahkan resep dari dokter. Tetapi saya herannya, hanya selang beberapa menit, nama saya sudah dipanggil untuk menerima obat, walaupun di bagian ini sudah banyak pasien-pasien yang sepertinya telah menyerahkan resep dokter lebih dahulu dari saya. Dan ternyata yang memberikan obat adalah ibu dari teman saya itu.
Perasaan malu dan senang menjadi satu. Malu karena orang yang telah antre lebih dulu dari saya masih menunggu, senang karena mendapatkan pelayanan yang cepat.
Itu adalah pengalaman menyenangkan ketika harus berhadapan dengan proses birokrasi, karena posisi saya saat itu sedang mempunyai koneksi untuk mendapatkan fasilitas akselerasi. Mungkin perasaan sebaliknya akan dirasakan pasien lain yang sudah menunggu lama untuk menukarkan resep dokter dengan obat.
Dilain kesempatan, saya pernah berurusan dengan proses birokrasi yang menurut saya agak menjengkelkan. Ini terjadi ketika saya hendak mengurus surat keterangan sehat dari Rumah Sakit milik pemerintah di kota saya.
Pagi-pagi saya berangkat dari rumah menuju RS. Ini adalah pertama kali saya berurusan dengan instansi kesehatan ini. Saya bingung karena tidak ada papan petunjuk untuk orang yang hendak mengurus surat keterangan sehat.
Karena kondisi sedang penuh sesak, saya bertanya pada seseorang didekat saya, katanya daftar dulu di loket. Saya adalah pemegang kartu askes, saya menuju loket yang melayani askes. Sesudah antre, kata petugasnya, saya disuruh mendaftar di loket umum, karena saya belum pernah mendaftar. Saya menuju loket yang ditunjukkan itu. Antre lagi tak terhindarkan. Setelah sampai giliran, saya mendapat sebuah stofmap yang berisi lembaran seperti pengantre lainnya.
Dari sana saya menuju poliklinik. Tetapi, oleh petugas di poliklinik, saya disuruh ke ruang administrasi. Saya beranjak ke ruang administrasi. Ternyata di ruangan itu sedang kosong, hanya ada deretan meja dan tumpukan berkas. Tak berapa lama, ada pagawai yang menanyai kami, mau apa. Saya menjawab, mau membuat surat keterangan sehat. Kemudian saya dipersilakan duduk sambil menunggu dibuatkan surat pengantar.
Setelah itu, saya diarahkan untuk periksa ke poliklinik dan kemudian ke laboratorium untuk tes urine. Saya kembali diarahkan ke ruang administrasi, dan ternyata saya disuruh kembali besoknya untuk mengambil surat keterangan sehat itu.
Dua pengalaman diatas agaknya menjadi kasus yang bertolak belakang. Cerita yang kedua ini menunjukkan betapa rumitnya alur birokrasi untuk memperoleh sebuah surat pengakuan bahwa kita sehat.
Sebenarnya, system birokrasi dalam contoh kedua, tidak terlalu runyam, tetapi yang menjadi permasalahan adalah kita sebagai stakeholder tidak mengetahui alurnya, dan para birokrat ini juga tidak mau menunjukkan alur yang tercepat yang dapat ditempuh
Dalam situs resmi Badan Kepegawaian Negara, PNS digambarkan sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat yang memiliki akhlak dan budi pekerti yang tidak tercela, yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, wajib memberikan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah.
Dari kewajiban-kewajiban yang disebutkan diatas, tidak disebutkan bahwa “Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan pelayanan dilandasi dengan kedekatan hubungan personal”. Hal ini bertujuan agar pelayanan yang diterima oleh setiap warga Negara yang berhak adalah sama, tidak ada diskriminasi yang berlandaskan kekeluargaan ataupun karena bersifat materi.
Akan tetapi, proses birokrasi yang tidak jelas bagi masyarakat umu juga perlu perhatian serius. Masyarakat sebagai stakeholder utama dalam pelayanan harus mendapat informasi yang lengkap mengenai segala hal yang ia butuhkan. Hal ini tentu saja membutuhkan kesiapan semua pihak. Misalnya dalam kasus kedua diatas adalah manajemen Rumah Sakit sebagai pengelola dan pengambil kebijakan harus menata kondisi Rumah Sakit menjadi senyaman mungkin, sehingga calon pasien yang datang tidak bingung harus masuk kemana dulu. Kemudian pegawai Rumah Sakit sebagai petugas pelayan harus menampakkan keramahan dan jiwa kerja samanya dalam melayani. Tentu saja masyarakatnya sendiri sebagai pengguna layanan harus memahami aturan yang berlaku, dan tak segan memberikan kritik membangun demi terciptanya pelayanan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar