Selasa, 23 November 2010

Mitologi Korupsi


Selasa, 15 Maret 2005

Mitologi Korupsi

Oleh Masdar Hilmy

SUDAH bukan rahasia lagi, Indonesia selalu menjadi "pelanggan setia" sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Tahun lalu, Transparency International Indonesia (TII) merilis hasil penelitiannya yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-5 negara terkorup di dunia, "naik" satu strip dari peringkat ke-6 pada tahun sebelumnya.

Kita mungkin sama sekali tidak terkejut membaca laporan itu, sama tidak terkejutnya ketika mendengar kegagalan program "terapi kejut" 100 hari pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam pemberantasan korupsi.

Rilis semacam itu pada dasarnya tidak mengandung hal-hal baru; siapa pun dan apa pun lembaganya niscaya akan menghasilkan peringkat atau indeks korupsi yang kurang lebih sama. Lihat saja apa yang telah dilakukan lembaga-lembaga sejenis lainnya, seperti Political and Economic Risk Consultancy (PERC), International Country Risk Guide Index (ICRGI), maupun lembaga domestik, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW). Paling banter semua lembaga itu akan menegaskan kesimpulan yang sama: Indonesia adalah (salah satu) negara terkorup di jagat raya ini.

Melihat kenyataan itu, tampaknya tidak berlebihan jika kita menganggap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini hanya merupakan mitos ketimbang realitas. Dengan perangkat hukum dan lembaga antikorupsi yang kian bertambah banyak, seharusnya upaya pemberantasan korupsi semakin menemukan titik terang. Kenyataannya, wabah korupsi kian menggila. Jika dulu korupsi hanya dilakukan elite politik, kini hampir setiap orang Indonesia pernah melakukan korupsi dalam berbagai bentuk dan derivasinya. Terlalu sulit bagi warga negara Indonesia untuk menghindar dari korupsi. Mengapa korupsi di negeri ini sangat sulit diberantas?


"Tacit knowledge"

Salah satu faktor mengapa korupsi sulit diberantas adalah karena ia sudah berkembang menjadi apa yang oleh Edward Shils (1981:32) disebut "pengetahuan diam-diam" (tacit knowledge) yang mengerangkai dan menggerakkan hampir seluruh kesadaran kolektif bangsa ini. Disebut pengetahuan diam-diam karena orang enggan menyebut-nyebut keberadaan korupsi, tetapi ia menerimanya sebagai sesuatu yang lumrah. Ada ambiguitas di sini. Di satu sisi orang menyadari, korupsi itu salah, tetapi di sisi lain ia tidak bisa hidup tanpanya. Bahkan, orang yang tidak mempraktikkannya dianggap tidak lumrah. Korupsi adalah "kebenaran dalam kesalahan."

Karena itu, proses pembentukan sistem pengetahuan semacam itu tidak berjalan melalui mekanisme ilmiah biasa, tetapi berjalan secara "tidak lumrah" melalui bantuan mitologisasi. Korupsi memang tidak terlahir dari mitos, legenda sejarah, atau cerita rakyat, namun ia menjadi besar justru karena peran mitos itu sendiri. Sebagai sebuah sistem pengetahuan, proses terbentuknya kesadaran korupsi berjalan melalui mekanisme reproduksi budaya yang berlangsung lama dan bertahap, yang pada satu titik tertentu membuncah menyentuh kesadaran eksistensial kedirian bangsa. Seolah berlaku asumsi, tidak ada cara lain menjadi warga negara RI selain melalui korupsi (to be an Indonesian means to corrupt)!

Keberadaan korupsi bukan lagi sekadar bumbu, tetapi menjelma sebagai "pilar" penting kehidupan bangsa. Jika di negara yang berindeks korupsi rendah, tindak korupsi dianggap penyimpangan, korupsi di negeri ini sudah telanjur dianggap peraturan (rule) itu sendiri. Ironis sekaligus menyedihkan! Ibarat ilmu bela diri, korupsi merupakan prasyarat menuju tingkat kesaktian tertentu. Semakin sakti ilmu bela dirinya, tingkat korupsinya harus kian canggih.

Mitos

Korupsi di negeri ini telah dihidupkan dan dibesarkan oleh sekurangnya empat mitos yang keberadaannya secara diam-diam diimani dan diamini sebagai sebuah "kebenaran."

Pertama, barang siapa yang hidup jujur pasti hancur. Sebuah ungkapan yang barang tentu membuat ngeri setiap orang yang mendengarnya. Jika disuruh memilih, hampir pasti tidak ada orang yang mau hancur hidupnya. Namun, risikonya harus dibayar dengan cara melacurkan kejujurannya. Ingin jujur tetapi tidak hancur? Keluar saja dari bumi Indonesia! Kira-kira demikian jalan berpikir kebanyakan orang. Bagaimana bisa jujur jika ingin jadi calon anggota legislatif harus setor ratusan juta rupiah, ingin memenangi perkara di pengadilan harus punya banyak duit, mau jadi anggota pegawai negeri harus menyuap?

Di negeri para maling kejujuran sudah menjadi barang aneh sekaligus langka. Orang yang hidup jujur tak ubahnya seperti menggenggam bara api. Hanya ada dua kemungkinan; terbakar atau selamat tetapi membuangnya. Orang yang bertahan dengan kejujuran akan tergilas oleh sistem yang korup. Mampu bertahan hidup dengan kejujuran sudah merupakan prestasi luar biasa. Tetapi jangan berharap orang semacam ini bisa mengubah sistem korup. Alih-alih bisa mengubah sistem, tidak hanyut oleh sistem yang korup saja sudah hebat.

Kedua, korupsi adalah seni. Ungkapan ini persis seperti pernah dilontarkan Bung Hatta, "Korupsi sudah menjadi seni dan bagian budaya bangsa." Ketika korupsi dianggap seni, maka nilai kejujuran dianggap sebagai tidak nyeni, tidak indah, monoton, alias membosankan. Seni dalam korupsi mensyaratkan talenta khusus. Skill "bermain cantik" ini diperlukan terutama untuk keperluan lobi-melobi atau pendekatan terhadap otoritas hukum, terlebih lagi seni dalam menjaga kerahasiaan. Karena itu, jangan heran jika korupsi di Indonesia sering dilakukan secara bersama, melibatkan sindikasi rahasia dan tertutup. Sebab, jika salah satu dari anggota sindikat merasa tidak puas dengan pembagian hasil korupsi, dia bisa menerapkan strategi zero sum game atau tijitibeh (mati siji mati kabeh/mati satu mati semua). Jika ini terjadi, semua anggota sindikasi bisa terjaring hukum, seperti terjadi di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu.

Ketiga, korupsi adalah simbol kecerdasan. Kecerdasan seorang kepala dinas dalam kantor pemerintahan, misalnya, sering diukur dengan

(1) sejauh mana dia mampu menggunakan kecerdasannya untuk membocorkan uang negara sebanyak-banyaknya;

(2) mampu menghabiskan sisa anggaran sebelum tutup tahun;

(3) menyusun anggaran fiktif atau mark-up proyek tertentu, dan;

(4) menggunakan link kekuasaannya untuk kelancaran korupsinya. Prinsipnya, tindak korupsi membutuhkan kecerdasan tinggi karena harus mampu membaca celah-celah hukum. Kenyataannya, hampir semua koruptor kelas kakap adalah orang-orang cerdas yang tidak tersentuh (untouchable) jeratan hukum. Sebaliknya, orang yang tidak bisa menghabiskan anggaran sisa, mark-up proyek, membuat anggaran fiktif akan dianggap bodoh.

Keempat, mitos aji mumpung. Mitos ini umumnya berlaku bagi siapa pun yang sedang menggenggam kekuasaan, terutama pejabat. Mitos ini didorong oleh kekhawatiran berlebihan akan hilangnya kekuasaan yang digenggamnya. Karena itu, jabatan adalah kesempatan yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memperkaya diri, sebab tak selamanya bisa jadi pejabat. Ibarat pepatah Jawa, sekarang adalah zaman edan (gila), jika tidak ikut-ikutan edan tidak keduman (kebagian).

Demitologisasi

Upaya pemberantasan korupsi secara tuntas meniscayakan tindakan menyeluruh dari hulu sampai hilir. Di tingkat hilir, menangkap para koruptor tanpa pandang bulu dan penegakan hukum (law enforcement) secara progresif merupakan langkah penting pemberantasan korupsi. Tetapi langkah ini pun tidak akan mengikis habis budaya korupsi tanpa dilakukan langkah yang sama di tingkat hulu.

Di tingkat ini kita perlu melakukan demitologisasi korupsi, yakni mengganti tacit knowledge masyarakat yang sudah berurat berakar melalui pembuktian terbalik terhadap keempat mitos di atas. Artinya, harus dibangun mitos baru di atas "reruntuhan" keempat mitos itu dengan cara mengunggulkan nilai-nilai kejujuran, menanamkan budaya hidup bersih dan transparan, mengidentifikasi korupsi sebagai sesuatu yang jorok, dekil, tidak indah, dikutuk agama.

Sebagai sebuah langkah kebudayaan, demitologisasi korupsi tidak bisa berlangsung dalam sekejap. Langkah ini hanya bisa dilakukan melalui penyadaran berjenjang dan berkelanjutan terhadap setiap anak bangsa sedini mungkin, mulai dari tingkat anak-anak hingga dewasa, melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal.

Melalui demitologisasi pula, kita layak berefleksi: sampai kapan bangsa ini dihidupi oleh mitos tentang kesaktian dan keampuhan korupsi? Sampai kita menjadi bangsa kleptokrasi?


sumber: www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar