Jumat, 29 April 2016

TARIK ULUR PENDAPATAN PAJAK


Di dunia ini adakah yang berbaik hati membayar pajak melebihi yang seharusnya dia bayarkan? Hampir semua orang tidak suka membayar pajak, karena pajak bersifat memaksa, tetapi sang pembayar tidak mendapatkan manfaat secara langsung yang bisa dirasakan.

Pada kasus Enron, pada tahhun 2000, perusahaan mengakui laba sebesar $100 miliar, laba yang sangat besar, sehingga Enron termasuk jajaran perusahaan terbesar di Amerika Serikat. Apabila diasumsikan tarif pajak yang berlaku di Amerika pada saat itu sebesar 35% maka pajak yang harus dibayarkan adalah sebesar $35 miliar. Akan tetapi pada Oktber 2001 Enron mengakui adanya kerugian sebesar $618 juta ditambah manajemennya dijatuhi hukuman karena dituduh melakukan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Dari awal, Enron telah mengalami kesulitan dalam keuangan, tetapi dalam laporan keuangan selalu disajikan dalam nilai yang selalu laba besar. Laporan keuangan agresif yang dilakukan Enron ini bertujuan untuk mandapatkan suntikan modal dari investor maupun kreditor. Laba yang besar, likuiditas yang lancar, ROI yang ideal merupakan beberapa indikator kesehatan perusahaan yang ditampilkan dalam laporan keuangan.

Pada sisi yang lain, perusahaan yang menginginkan pembayaran pajak yang kecil berusaha mengecilkan laba dalam laporan perpajakannya. Laporan pajak yang agresif seperti ini mempunyai risiko laporan keuangan perusahaan yang dikeluarkan tidak maksimal, sehingga kinerja perusahaan dapat dinilai tidak kredibel oleh invesor maupun kreditor.

Trade off yang dihadapi manajemen pada saat memilih laporan keuangan atau laporan pajak, seperti yang disampaiakan Shackelford dan Shevlin (2001), ternyata tidak terbukti pada penelitian selanjutnya. Shackelford dan Shevlin merumuskan bahwa ketika laporan keuangan memeperoleh laba maksimal maka pajak yang dibayarkan juga maksimal, dan sebaliknya apabila ingin mengurangi pajak yang ibayarkan, maka performa laporan keuangan harus dikurangi. Frank et al (2009) menemukan bahwa terdapat kecenderungan bahwa manajamen perusahaan mampu melaporkan laba besar pada laporan keuangan, dan pada waktu yang sama, mereka melaporkan pajak perusahaan yang kecil.

Sebagai manusia, tim manajemen perusahaan juga ingin kinerjanya diakui bagus. Indikator kinerja manajemen salah satunya dinilai dari laporan keuangan dan laporan pajak perusahaan. Mereka berusaha mempercantik keduanya. Celah perbedaan prinsip akuntansi yang berlaku dengan aturan pajak yang diundangkan, mampu memberikan peluang bagi manajemen perusahaan untuk mengelola pendapatan menurut laporan keuangan lebih besar sedangkan pendapatan kena pajak lebih kecil pada periode pelaporan yang sama. Berdasarkan hasil penelitian Frank et al tersebut, aturan perpajakan masih mempunyai banyak loophole yang mungkin dimanfaatkan.

Loophole merupakan kondisi yang memungkinkan seseorang untuk menghindari kewajiban tanpa pengenaan sanksi penalti atau sanksi hukum. Loophole dalam perpajakan memungkinkan wajib pajak mendapatkan peluang penghematan pembayaran pajak, atau terhindar dari kewajiban perpajakan.tertentu atau terhindar dari pengenaan sanksi administratif perpajakan. Loophole ini ada yang sengaja diciptakan untuk tujuan memperbaiki pasar, misalnya tax amnesty, dan ada pula yang terjadi karena perbedaan penafsiran antara pembuat peraturan dan penggunanya.


Hal ini dapat dijadikan pelajaran bagi otoritas perpajakan untuk menyusun aturan-aturan perpajakan yang dapat menutup celah-celah penghindaran pajak, tetapi dalam waktu yang sama dapat menciptakan iklim ekonomi yang kondusif bagi pelakunya. 

Kamis, 14 April 2016

SIMALAKAMA ATAU HARMONI (PAJAK DALAM AKUNTANSI)

Ilmu menghitung uang telah berkembang sejak masa dimana ditemukan uang itu sendiri. Uang sebagai nilai tukar menjadi ukuran kekayaan seseorang atau organisasi. Perjalanan hitung menghitung ini berdampak pada  penilaian apakah si A termasuk orang kaya, apakah si B orang setengah kaya, atau si C menjadi miskin akibat uangnya habis? Kondisi masyarakat sangat bervariasi, oleh karena itu perlu adanya campur tangan pemerintah dalam menjaga perekonomian masyarakatnya, yaitu melalui pajak.




Dalam perkembangannya, ilmu pajak tidak terlepas dari ilmu menghitung uang, yang lebih dikenal dengan ilmu akuntansi. Dengan mengikuti perkembangan akuntansi, pajak berharap dapat memberikan penerimaan kepada negara sesuai dengan aturan yang disepakati. Para peneliti banyak melakukan riset tentang pajak yang dihubungkan dengan akuntansi. Bagaimana pengaruh pajak dalam pelaopran akuntansi wajib pajak banyak menarik para peneliti untuk mencari jawabannya.

Apabila si A mempunyai penghasilan Rp. 1 miliar dalam sebulan tentu saja harus membayar pajak yang berbeda dengan si C yang mempunyai penghasilan Rp. 1 juta dalam sebulan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh asas keadilan yang dimaksudkan supaya si C juga bisa mendapat penghidupan yang layak tiap harinya. Akan tetapi, si A juga berpikir, bagaimana supaya pajaknya bisa seminimal mungkin. Si A menghitung kembali penghasilannya dan mengaku bahwa dia hanya berpenghasilan  Rp. 500 juta sebulan. Nilai 500 juta lumayan untuk dapat memperoleh separoh dari perhitungan pajak yang seharusnya. 

Proses catat-mencatat ini menjadi sensitif ketika dibenturkan dengan perhitungan pajak. Sebuah perusahaan ingin dilihat sebagai perusahaan yang bonafide dengan laporan keuangan yang bagus. Laporan keuangan yang bagus akan mempengaruhi investor yang menanamkan modalnya, para kreditur untuk meminjamkan dananya, dan konsumen untuk membeli dari perusahaan yang sehat secara finansial. Di sisi lain, apabila kinerja keuangan bagus, laba besar, kemungkinan besar pajak akan semakin membengkak. Hal ini sejalan dengan penelitian Hanlon dan Heitzman (2010), sedikit banyak perbedaan perhitungan laba akuntansi dengan penghasilan kena pajak berimplikasi pada penyajian laporan keuangan. Seperti buah simalakama memang.  

Pemerintah berusaha mengakomodasi kepentingan swasta sebagai pembayar pajak dan pemerintah sendiri sebagai pengumpul pajak. Kedua kepentingan yang saling berbenturan dalam berbagai aspek, misalnya ketidakseimbangan penghasilan dalam masyarakat dan swasta menginginkan tarif pajak yang kecil dengan banyak perlakuan khusus. Akibat dari pajak pemerintah ini, swasta berusaha melakukan penyimpangan dalam memperlakukan perhitungan akuntansinya. Tax evasion yang dilakukan Wajib Pajak dengan merubah komponen-komponen laporan keuangan menjadi tidak sejalan dengan program pemerintah yang berusaha mengumpulkan pajak yang besar. Usaha penyembunyian laba atau melakukan mark up biaya yang dikeluarkan menajdi modus yang sering dilakukan oleh tax evader.

Maydew (2000) mengingatkan supaya penelitian pajak tidak hanya berfokus pada lingkup nasional saja, karena dunia global telah menjadikan tax evasion maupun tax avoidance semakin beragam sampai ke luar negeri. Terungkapnya skandal Panama Paper menjadi bukti yang sahih bahwa kaum elit dunia tidak jujur dengan laporan keuangannya. Mereka berusaha menyembunyikan harta mereka di negara yang temasuk tax heaven.

Diakui atau tidak, pajak mempunyai pengaruh terhadap laporan keuangan wajib pajak. Akan tetapi apabila laporan akuntansi disajikan secara wajar, tidak ada sesuatu yang sengaja disembunyikan, tentu akan terjadi harmoni dengan perhitungan pajak.

Rabu, 06 April 2016

BERDAMAI DENGAN WAJIB PAJAK


Pak Ken Dwijugeasteadi, Direktur Jenderal Pajak, malam tadi (selasa, 5 April 2016), di Metro TV, ketika ditanya tentang upaya memata-matai orang yang berbelanja melalui kartu kredit, menjawab dengan santai, bahwa beliau mengajak semua orang untuk bergotong royong dalam membangun negeri ini,  dan menjelaskan, sesuai undang-undang data kartu kredit bukan merupakan data rahasia perbankan. Jadi DJP sah untuk mempergunakan data tersebut. Sebagai orang nomor satu di Direktorat jenderal Pajak, Pak Ken harus mengetahui bagaimana cara memperlakukan stakeholder pajak. Stakeholder yang terlibat banyak sekali, mulai pegawai di lingkungan DJP, Sistem yang mempunyai kuasa politik saat ini, sampai wajib pajak yang menjadi sumber penerimaan DJP. Wajib pajak merupakan faktor terpenting dalam siklus ini.

Beberapa hari terakhir makin ramai pemberitaan mengenai Panama Paper yang melibatkan “Wajib Pajak” kelas kakap dari berbagai belahan dunia. Rilis yang dikeluarkan oleh firma hukum Mossack  Fonseca di Panama itu menampilkan 2.691 nama individu dan perusahaan ketika diketik kata kunci “Indonesia”.Sangat mencengangkan melihat data tersebut. Setiap hari DJP berusaha mendapatkan data wajib pajak, ternyata wajib pajak banyak melakukan penghindaran pajak ke luar negeri. Untuk menghadapi Wajib Pajak seperti ini, bagaimana DJP harus menempatkan diri? Apakah DJP harus memperlakukan Wajib Pajak sebagai penjahat yang sedang buron, atau sebagai pelanggan dagangan DJP?

DJP mempunyai kewenangan memaksa di bawah undang-undang. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Allingham dan Sandmo (1972), coersive power yang dimiliki DJP dapat berupa pemeriksaan pajak dan sanksi apabila ditemukan bukti pelanggaran terhadap aturan perpajakan. Apabila DJP menonjolkan tindakan pemaksaan dengan peningkatan frekuensi pemeriksaan dan pengenaan sanksi, berdasarkan penelitian Hofmann dkk (2014), kemungkinan hasil yang diperoleh adalah kepatuhan meningkat, tetapi membawa iklim perlawanan terhadap DJP sebagai otoritas perpajakan di Indonesia. situasi seperti itu bisa menjadi bumerang yang sewaktu-waktu dapat kembali menyerang kita ketika lengah. 

Selain itu, DJP juga mempunyai legitimate power yang berasaskan  transparansi dan keadilan dalam proses pemungutan pajak (Alm, 2010). Hofmann dkk (2014) menyatakan bahwa prediksi dampak dari penggunaan legitimate power ini adalah meingkatkan kepatuhan terhadap aturan, tanpa mengganggu iklim pelayanan terhadap Wajib Pajak, sehingga meningkatkan kepercayaan terhadap otoritas pengelola pajak.

Dalam buku Marketing is Bullshit, Ippho Santosa menjabarkan teknik marketingnya dalam delapan “bullshit”, yaitu, hoki itu kebetulan; terobosan adalah pemborosan; terobosan bukan keharusan; diferensia sukar dikreasi; kegigihan adalah segalanya; perlu metode untuk menghasilkan ide; segala sesuatu serba terbatas; dan laba adalah raja. Bullshit yang pertama merupakan hasil hubungan manusia dengan Tuhannya, dalam hal ini, pegawai DJP dengan kepercayaan masing-masing. Bullshit yang kedelapan merupakan tujuan akhir dari usaha marketing, kalau dalam pajak berarti penerimaan yang masuk untuk memenuhi target. Akan tetapi untuk sampai di bullshit delapan, ada bullshit kedua sampai ketujuh yang perlu diperhatikan. DJP mempunyai sumber daya yang terbatas, sehingga terobosan, diferensiasi dan ide baru mutlak diperlukan dalam usaha pengumpulan pajak negara. 

DJP perlu melakukan terobosan dengan memperlakukan Wajib Pajak sebagai pelanggan yang harus dilayani sepenuh hati. Untuk hal ini penulis setuju dengan langkah DJP yang akan memberikan   insentive pajak untuk modal yang akan masuk ke Indonesia, karena dalam jangka panjang akan menambah basis perpajakan di Indonesia. Kita layani Wajib Pajak, sehingga mereka nyaman dengan iklim ekonomi Indonesia. Ambil telurnya, jangan sembelih angsanya, sisakan telur untuk menetas menjadi angsa-angsa baru.


Minggu, 03 April 2016

MERCUSUAR PAJAK 2016




Tidak bisa dipungkiri, bahwa penghindaran pajak dan ketidakpatuhan Wajib Pajak terhadap Peraturan perpajakan masih menjadi pembahasan yang menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat luas. Pemerintah berusaha melakukan usaha pengumpulan pajak dengan pengetatan dalam beberapa segi peraturan. Sedangkan masyarakat sebagian besar menginginkan pajak yang mereka bayarkan tetap sedikit. Kepatuhan terhadap peraturan merupakan hal utama yang dijadikan faktor penentu terkumpulnya uang pajak oleh pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak.

Dua tagline Direktorat Jenderal Pajak era pemerintahan 
Presiden Jokowi adalah Tahun Pembinaan Wajib Pajak, pada tahun kemarin dan Tahun Penegakan Hukum yang dilaksanakan tahun ini, 2016. Pada tahun 2015 diharapkan DJP mampu memperoleh simpati masyarakat dengan tujuan peningkatan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan melalui pendekatan sosialisasi, pengampunan dan pemberian keringanan terhadap Wajib Pajak. Tahun Pembinaan Wajib Pajak tampaknya kurang mendapatkan apresiasi dari masyarakat kalau menggunakan indikator tercapainya target penerimaan pajak tahun anggaran 2015 yang hanya mencapai 81,5% dari Rp. 1.294,258 triliun yang ditetapkan dalam APBN-P 2015. 

Program lanjutan yang dilaksanakan tahun 2016 berusaha meyakinkan masyarakat bahwa akan ada sanksi yang “berat” atas ketidakpatuhan terhadap peraturan perpajakan. Tahun penegakan hukum memaksa masyarakat berpikir bahwa Direktorat Jenderal Pajak sedang melakukan sweeping terhadap Wajib Pajak yang tidak patuh. Dari beberapa Wajib Pajak yang penulis temui mengaku bahwa mereka merasa was-was dengan tahun 2016, takut didenda atau disita asetnya. Apabila mengacu pada tulisan Gary S. Becker dalam Crime and Punishment: An Economic Approach, untuk menciptakan kondisi yang ideal terhadap kepatuhan terhadap aturan dapat dilakukan dengan meningkatkan upaya deteksi pelanggaran dan menciptakan sanksi yang lebih besar dibandingkan manfaat yang diperoleh dari pelanggaran itu. Dua hal ini akan menimbulkan efek “takut” pada Wajib Pajak, apabila benar-benar dapat dilaksanakan. Dalam era sosial media sekarang ini, dengan publikasi yang masiv dan teratur, bisa jadi program ini menjadi mercusuar pencitraan DJP dalam setahun.

Untuk mencapai target penerimaan pajak tahun 2016, sebesar Rp. 1.546 triliun tidak cukup menggunakan tonggak mercusuar ketakutan. Mercusuar tidak akan berguna bila tidak mampu memancarkan cahaya yang menjadi guidance arah kapal-kapal yang berlayar, walaupun dalam kenyataanya kapal juga mempunyai sistem navigasi sendiri. James Alm, dkk dalam Why do people pay taxes? mengungkapkan bahwa masyarakat tertentu patuh untuk membayar pajak tidak disebabkan karena adanya risiko sanksi yang akan mereka terima ketika tidak membayarnya. Masyarakat yang telah patuh dapat sukarela membayar pajak karena menganggap pemerintah telah berhasil menyediakan barang publik yang berguna bagi orang banyak dengan baik dan mereka berusaha untuk ikut berkontribusi didalamnya. DJP dapat menjadikan orang-orang seperti ini menjadi role model untuk menarik Wajib Pajak lain untuk taat aturan perpajakan. Fungsi guidance ini yang masih diperlukan oleh DJP ditahun 2016 ini. 

Dengan mercusuar ketakutan yang dibangun DJP disertai cahaya yang dapat dijadikan petunjuk arah Wajib Pajak, diharapkan tahun 2016 ini target penerimaan pajak dapat tercapai.